Puasa Tarwiyah dan Arafah
Dalam pelaksanaanya puasa sunah di bagi menjadi tiga
macam yaitu : tahunan , bulanan , dan mingguan . puasa sunah tahunan yaitu
puasa yang sunah yang dikerjakan sekali pada hari dan bulan tertentu dalam satu tahun
seperti puasa Arofah , Asyuro , Tasu’a dan puasa 6 hari di bulan Syawal . puasa
sunah bulanan adalah puasa sunah yang dikerjakan setiap pergantian bulan
seperti puasa hari hari putih ( ayyamil Bidl ) yaitu puasa di tanggal 13 , 14 ,
dan 15 pada tiap tiap bulan , sedangkan puasa sunah mingguan adalah puasa yang
dikerjakan setiap satu pekan seperti puasa senin dan kamis .
Pada pembahasan ini kita fokus pada puasa tahunan dan
lebih khusus lagi puasa Tarwiyah dan Arofah
1. Puasa Tarwiyah
Puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan pada
hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi
hadits yang diriwayatkan Imam Ad Dailami:
صَوْمُ يَوْمِ
التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu
tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.”
Dikatakan hadits ini dloif (kurang
kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun
sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal(untuk
memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah
aqidah dan hukum.
Menurut Syaikh Musthafa Al Adawi, ada dua hadits
berkenaan dengan puasa 10 hari di awal Dzulhijjah secara khusus:
1. Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha yang
dikeluarkan oleh Muslim yang redaksinya, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wa sallam sama sekali tidak pernah berpuasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
2. Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur
seorang rawi yang bernama Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya
dari Hafshah ia berkata,“Empat hal yang tidak pernah
ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam: (diantaranya):
puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
Menurutnya, pernyataan Hunaidah pada riwayat ini
diperselisihkan oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya, dari
Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu Salamah
secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari bentuk-bentuk yang
berbeda!”
Dari sisi keabsahan, maka yang unggul bahwa hadits ‘Aisyah
yang terdapat di dalam shahîh Muslim adalah lebih shahîh, sekalipun padanya
terdapat bentuk perselisihan dari Al A’masy dan Manshûr.
Namun diantara ulama ada yang mencoba mengkompromikan
dua hadits tersebut yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing dari istri Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang ia saksikan dari beliau,
bagi yang tidak menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang menyaksikan
menetapkan keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
sendiri menggilir setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu malam. Maka
atas dasar ini dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa dan
terkadang tidak berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun lalu tidak berpuasa
beberapa tahun (berikutnya) ada benarnya, maka manapun dari dua pendapat
tersebut diamalkan maka ia telah memiliki salaf (pendahulu).”
Imam Ibnu Katsir mengatakan maksud dari “pada
hari-hari ini” adalah sepuluh hari Dzulhijjah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim,
8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At
Tafasir)
Maka, tidak apa-apa puasa tanggal 8 tersebut karena
dia bagian dari cara amal shalih yg bisa kita lakukan selama 10 hari
dzulhijjah, dan sebagusnya dilanjutkan dgn puasa ‘Arafahnya, agar puasa pada
hari tarwiyah itu tidak menyendiri.”
Hadits tentang puasa tarwiyah dikatakan dho’if karena sanad hadits ini ada kelemahan :
Pertama; Kalbi (sanad ketiga) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).
Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.
Kedua; Ali bin Ali Al-Himyari (sanad kedua) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah SAW bersabda:"Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun." (HR Bukhari Muslim).
“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Tambahan Ibnu Katiby
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits itu bukan Maudhu’ melainkan hanya dho’if. Yaitu riwayat dari jalur lainnya yaitu dari jalur Ibnu Najjar.
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ
سَنَة
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
Oleh Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Dan kita tahu bahwa jumhurul ulama sepakat boleh mengamalkan hadits dho’if dalam fadhoil a’mal.
Kemudian puasa Tarwiyah tidak bisa dibilang bid’ah sehingga haram dilakukan, karena pertama, haditsnya dari jalur lain bertaraf dho’if bukan maudhu’.
Kedua, dalil-dalil umum sudah cukup menjelaskan kebolehannya melakukan puasa di hari Tarwiyyah
Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Ibnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها
أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في
سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك
شيء
"Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh
hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah!
walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah
kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian
tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan
Dzulhijjah, sedangkan puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan
Dzulhijjah. Puasa sunnah itu berdasarkan dalil berikut:
Dari Abi Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة
وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
"Puasa hari Arafah menghapuskan
dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura’
menghapuskan dosa tahun sebelumnya.
(HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizy)
Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjjah) ini disepakati
sunnah bagi yang tidak menunaikan haji. Sedangkan bagi yang wukuf di Arafah
hukumnya diperselisihkan dikarenakan dalil yang melarang puasa bagi jamaah haji
yang wukuf dipermasalahkan.
Hukum Berpuasa Pada Saat Wukuf Di Arafah
Ø Haram Puasa Bagi Yang Wukuf
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا
بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari
‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar
hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah
dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.”
(HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No.
2830, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim
dalam Al Mustadrak No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya:
“Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
(Al Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam
kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata: Ibnu Khuzaimah
telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At
Talkhish, 2/461-462)
Ø Boleh Berpuasa Meski Wukuf
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut,
karena perawi hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan
perawi Bukhari dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan: Berkata Al Hakim: “Sesuai
syarat Bukhari,” mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi
ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu
Ma’in mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti karena
kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431) Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia
adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh
para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata: Aku berkata: isnadnya dhaif,
semua sanadnya berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah
Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: Isnadnya dhaif,
karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu
Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia
(Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen). (Ta’liq
Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu
Hibban adalah imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang
majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar. (At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili
mengatakan dalam Adh Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan:
Laa A’rifuhu – saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir,
5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Dalam isnadnya ada yang
perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang dikenal.
(Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam Asy Syaukani.
(Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang
shahih larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.
Oleh karenanya Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Tidak ada yang shahih
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada hari ini
( 9 Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي
صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ
إِلَيْهِ بِقَدَحٍ مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa
mereka ragu tentang berpuasanya Nabi Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari
‘Arafah, lalu dikirimkan kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR.
Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan: Telah
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad yang
baik, bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari ‘Arafah ketika berada di
sana, dan tidak ada yang shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari
itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa
ketika mereka di ‘Arafah. Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai
berikut: Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari
‘Arafah ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An
Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang di
‘Arafah tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa
ketika sedang di ‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu,
kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah
diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang
membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah
melakukannya, tetapi juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di
‘Arafah.
سئل بن عمر عن صوم يوم
عرفة فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم يصمه وحججت مع أبي بكر فلم يصمه
وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا أمر به ولا أنهى
عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah,
beliau menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Beliau tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa,
saya haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia juga
tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan
tidak melarangnya.” (Sunan Ad Darimi No. 1765.
Syaikh Husein Salim Asad berkata: isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa
‘Arafah bagi jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya lemah.
(Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak
dianjurkan mereka berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat
berdoa: Ada pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari ‘Arafah,
tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat
untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. (Ibid, 3/24) Jadi, menurutnya
“tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak boleh.
Pandangan Empat
Mazhab: Makruh Puasa Arafah Bagi yang Wukuf
1.
Hanafiyah:
makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat lemah, begitu juga puasa
tarwiyah (8 Dzulhijjah).
2.
Malikiyah:
makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula puasa tarwiyah.
3.
Syafi’iyah:
jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke ‘Arafah siang hari maka
puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika pergi ke ‘Arafah
malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah musafir, maka secara
mutlak disunahkan untuk berbuka.
4.
Hanabilah:
Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari ‘Arafah jika wuqufnya
malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh
berpuasa.
0 comments:
Post a Comment