Hukum Poligami :
Haruskah meminta izin istri pertama ?????
Pertanyaan
Assalamu'alaikum wr
wb.
Sahabat kompeni yg
dirahmati Alloh, pd kesempatan kali ini saya mau tanya Bab Poligami.
1. Apa saja ketentuan hukum syara' jika seorang lelaki hendak berpoligami
2. Jika seorang suami hendak nikah lagi apakah harus mendapat izin dr istri pertama?
Jawab :
1. Ketentuan laki laki boleh berpoligami ketika memenuhi
dua kreteria
a. Bisa berlaku adil terhadap semua istrinya
b. Bisa menafkahi
Ta’bir :
قيود إباحة التعدد :
اشترطت الشريعة لإباحة التعدد
شرطين جوهريين هما:
1 - توفير العدل بين الزوجات: أي العدل الذي يستطيعه الإنسان، ويقدر
عليه، وهو التسوية بين الزوجات في النواحي المادية من نفقة وحسن معاشرة ومبيت، لقوله
تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة، أو ما ملكت أيمانكم، ذلك أدنى ألا تعولوا} [النساء:3/4]
فإنه تعالى أمر بالاقتصار على واحدة إذا خاف الإنسان الجور ومجافاة العدل بين الزوجات.
وليس المراد بالعدل ـ كما بان في أحكام الزواج الصحيح ـ هو التسوية في العاطفة والمحبة
والميل القلبي، فهوغير مراد؛ لأنه غير مستطاع ولا مقدور لأحد، والشرع إنما يكلف بما
هو مقدور للإنسان، فلا تكليف بالأمور الجبلِّية الفطرية التي لا تخضع للإرادة مثل الحب
والبغض.
ولكن خشية سيطرة الحب على
القلب أمر متوقع ،لذا حذر منه الشرع في الآية الكريمة: {ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين
النساء، ولو حرصتم، فلا تميلوا كل الميل، فتذروها كالمعلقة} [النساء:129/4] وهو كله
لتأكيد شرط العدل، وعدم الوقوع في جور النساء، بترك الواحدة كالمعلقة، فلا هي زوجة
تتمتع بحقوق الزوجية، ولا هي مطلقة. والعاقل: من قدَّر الأمور قبل وقوعها، وحسب للاحتمالات
والظروف حسابها، والآية تنبيه على خطر البواعث والعواطف الداخلية، وليست كما زعم بعضهم
لتقرير أن العدل غير مستطاع، فلا يجوز التعدد، لاستحالة تحقق شرط إباحته.
2 - القدرة على الإنفاق: لا يحل شرعاً الإقدام على الزواج، سواء من
واحدة أو من أكثر إلا بتوافر القدرة على مؤن الزواج وتكاليفه، والاستمرار في أداء النفقة
الواجبة للزوجة على الزوج، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «يا معشر الشباب، من استطاع
منكم الباءة فليتزوج...» والباءة: مؤنة النكاح.
)الفقه الإسلامي وأدلته 9 / 161 )
Batasan diperbolehkanya berpoligami :
Syarat diperbolehkanya poligami menurut syari’at ada dua : pertama :
adil kepada semua istri artinya adil dalam perspektif manusia dan mampu
menjalankanya . yaitu menyama ratakan semua istri dalam hal pelayanan baik
dalam hal nafaqoh maupun menggauli dan menggilir , hal tersebut karena perintah
Allah : apabila kamu khawatir tidak bisa adil maka satu istri , atau budak yang
kamu miliki dengan demikian kamu tidak akan sombong . sesungguhnya Allah
memerintahkan untuk meringkas hanya satu istri ketika khawatir sombong dan
sulitnya adil pada semua istri . yang di maksud dengan adil di sini tidaklah
sama dengan definisi adil dalam bab hukum hukum pernikahan yang sohih yang
artinya menyama ratakan sayang , cinta dan perasaan hati karena yang demikian
itu tidak yang di maksud dalam bab ini ,
karena hal tersebut tidak mungkin mampu di lakukan bahkan tidak di kuasai oleh
seseorang , sedangkankan hukum syar’i diperuntukan bagi perkara yang mampu di
lakukan oleh manusia , tidak ada kewajiban untuk perkara yang merupakan watak
yang tidak bisa di paksakan oleh seseorang semisal cinta dan benci . akan
tetapi takut akan hilangnya cinta pada hati merupakan perkara yang bisa terjadi
, oleh karena itu syariat memberi batasan dalamsebuah ayat : “ kalian tidaklah
akan mampu berlaku adil terhadap istri istrimu walaupun kamu telah berusaha
dengan keras . maka janganlah kamu terlalu cinta tinggalkanlah mereka seperti
halnya seekor lintah “ semua ayat
tersebut menguatkan pada syarat adil dan tidak adanya menyakiti wanita , dengan
meninggalkan satu istri saja seoerti lintah terkadang dia adalah seorang istri
yang tidak mau menerima haknya sebagai seorang istri terkadang juga sebagai
istri yang terceraikan . orang yanng berakal yaitu orang yang dapat memprediksi
suatu kejadian sebelum kejadian itu datang dan dapat memperkirakan beberapa
kemungkinan yang akan terjadi . ayat tersebut mengingatkan adanya bisikan
bisikan yang dapat membangkitkan dan rasa sayang yang masuk , bukan seperti
yang di anggap oleh kebanyakan orang bahwa ayat tersebut menerangkan penetapan
bahwa adil tidak mungkain dapat di lakukan maka dengan demikian poligami
menjadi hal yang tidak di perbolehkan syara’ karena tidak terpenuhinya syarat
yang membolehkan ( adil ).
Yang kedua : mampu memberi nafkah : tidak sah menurut syara’ melakukan
pernikahan baik dengan satu istri atau lebih kecuali dia mampu memberikan
nafkah dan segala kebutuhanya dan terus menerus memberikan nafkah wajib bagi
istri , hal tersebut karena perintah Rosulullah SAW hai para pemuda barang
siapa mampu memberikan nafkah mak menikahlah “
( Al Fiqhul Islam Wa adilatihi
Juz : 9 Hal : 161 )
2.
Berdasarkan Hukum positif (
UUD RI no 1 th 1974 tentang perkawinan ) laki laki yang akan berpoligami wajib
meminta persetujuan istri pertama
Dasar :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan
hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
0 comments:
Post a Comment