Hukum Pengobatan Dengan Cara Memindahkan Penyakit kedalam Tubuh Hewan
Diskripsi Maslah
Di era modern ini, banyak pengobatan
alternatif berupa terapi medis , terapi
tradisional ala tabib , ada juga yang melalui dukun .
( Ranting NU
Jatisari )
Pertanyaan :
a.
Bagaimana
hukumnya pengobatan dengan cara memindah penyakit manusia kepada binatang yang
menyebabkan binatang tersebut mati ?
Jawab :
Pengobatan
dengan cara memindah penyakit manusia kepada hewan seperti pertanyaan di atas
adalah Boleh, apabila sudah sampai batas dlorurot atau hajat, demi keselamatan
manusia muhtarom dengan beberapa catatan:
1. Hal tersebut menjadi alternatif yang terakhir;
2. Pasien tersebut termasuk muhtarom 'inda al-syar'i
(orang yang dimuliakan dalam pandangan Islam);
3. Sakitnya sampai kondisi mubihut tayammum
(diperkenankan untuk bertayammum).
4. proses pengobatan tidak menyimpang dengan syari’at
Ibarat :
1. I’anatut Tholibin Juz : 4 Hal : 129
2. Nihayatul Muhtaz : Juz : 2 Hal : 21 -22
3. Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab Juz : 9 Hal
: 50 - 51
4.
Asna Al Matholib Juz :
19 Hal : 175
اعانة الطالبين وهامشه ج : 4 ص : 129
تتمة يجب عند هيجان البحر وخوف الغرق القاء غير الحيوان من المتاع لسلامة حيوان محترم
وإلقاء الدواب لسلامة الآدمي المحترم إن تعين لدفع الغرق وإن لم يأذن المالك
Dan di wajibkan ketika terjadi badai di lautan dan kawatir akan tenggelam
melemparkan harta selain hewan untuk keselamatan hewan yang muhtarom, dan
membuang hewan dawab untuk keselamatan manusia yang muhtarom apabila itu
merupakan alternatif terakhir untuk menolak tenggelam. Walaupun pemiliknya
tidak mengizinkan.
( I’anatut
Tholibin Juz : 4 Hal : 129 )
نهاية المحتاج ( الجزء الثاني , ص / 21-22 ) ونصه :
(ولو وصل عظمه) أي
عند احتياجه له لكسر ونحوه (بنجس من العظم ولو مغلظا لفقد الطاهر) الصالح لذلك
(فمعذور) فيه - الى ان قال - فقد نص فى المختصر بقوله ولا يصل الى ما إنكسر من
عظمه الا بعظم ما يؤكل لحمه ذكيا ويؤخذ منه انه لايجوز الجبر بعظم الأدمي مطلقا
فلو وجد نجسا يصلح وعظم ادمي كذاك وجب تقديم الأول ( قَوْلُهُ : أَيْ عِنْدَ احْتِيَاجِهِ ) أَيْ بِأَنْ خَشِيَ مُبِيحَ
تَيَمُّمٍ لَوْ لَمْ يَصِلْ بِهِ انْتَهَى حَجّ
Dan apabila menyambung tulangnya ( ketika di butuhkan karena retak/ yang
lain) dengan tulang yang najis walaupun najis mugholadhoh karena tidak adanya
yang suci maka di berikan keringanan/ di perbolehkan …sampai pada perkataan …
maka telah di nas di dalam kitab al mukhtashor dengan komentarnya “ dan tidak
di perbolehkan untuk menyambung tulang yang retak kecuali dengan tulang hewan
yang bisa di makan dagingnya setelah di sembelih “ di ambil kefahaman dari nas
itu sesungguhnya tidak di perbolehkan menyambung dengan tulang manusia secara
mutlak apabila menemukan tulang yang najis yang bisa di gunakan serta tulang
manusia maka wajib memakai tulang najis. Qouluhu inda ihtiyajihi : yaitu
dengan kekawatiran yang sampai di perbolehkan tayamum andai tidak di
sambung dengan tulang tersebut.
( Nihayatul Muhtaz : Juz : 2 Hal : 21 -22 )
المجموع للنووي ( الجزء التاسع ,ص / 50-51) ونصه :
(ان الله لم يجعل
شفاء كم فيما حرم عليكم ) فهو حرام عند وجود غيره وليس حراما اذا لم يجد
غيره. اهـ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan dari kamu semua dengan
sesuatu yang di haramkan maka ( berobat dengan sesuatu haram) di haramkan
apabila masih ada sesuatu lain yang halal, dan tidak haram apabila menemukan
yang lain.
( Al Majmu’
Syarah Al Muhadzab Juz : 9 Hal : 50 – 51 )
) أسنى المطالب (19/ 175)
( وَيَجِبُ
إلْقَاؤُهُ ) ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ مَالِكُهُ إذَا خِيفَ الْهَلَاكُ (
لِسَلَامَةِ حَيَوَانٍ ) مُحْتَرَمٍ بِخِلَافِ غَيْرِ الْمُحْتَرَمِ كَحَرْبِيٍّ ،
وَمُرْتَدٍّ وَزَانٍ مُحْصَنٍ ( وَ ) يَجِبُ ( إلْقَاءُ حَيَوَانٍ ) ، وَلَوْ
مُحْتَرَمًا ( لِسَلَامَةِ آدَمِيٍّ ) مُحْتَرَمٍ ( إنْ لَمْ يُمْكِنْ ) فِي
دَفْعِ الْغَرَقِ ( غَيْرُهُ ) أَيْ غَيْرُ إلْقَاءِ الْحَيَوَانِ فَإِنْ أَمْكَنَ
لَمْ يَجِبْ إلْقَاؤُهُ بَلْ لَا يَجُوزُ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ نَعَمْ لَوْ كَانَ هُنَاكَ
أَسْرَى مِنْ الْكُفَّارِ وَظَهَرَ لِلْأَمِيرِ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي
قَتْلِهِمْ فَيُشْبِهُ أَنْ يَبْدَأَ بِإِلْقَائِهِمْ قَبْلَ الْأَمْتِعَةِ ،
وَقَبْلَ الْحَيَوَانِ الْمُحْتَرَم
Wajib membuangnya walaupun
tidak mendapatkan izin dari pemiliknya ketika dikhawatirkan celaka , karena
keselamatan hewan yang dimuliaka berbeda dengan yang tidak dimuliaka seperti
kafir harbi ( Kafir yang memusuhi ) , aoarang murtad , dan orang yang berzina .
dan wajib membuang hewan yang dimuliakan karena keselamatan manusia yang
dimuliaka ketika tidak ada kemungkinan menyelamatkan kecuali hanya membuangnya
, apabila ada alternatif lain maka tidak wajib membuangnya tapi boleh , Al adro’i
berkata : apabila dalam kapal ada tawanan perang dari orang kafir dan jelas
rekomendasi dari pemerintah bahwa yang terbaik adalah membunuhnya maka diawali
dengan membuang mereka sebelum harta benda dan hewan yang dimuliakan .
( Asna Al Matholib Juz : 19 Hal : 175 )
0 comments:
Post a Comment