NODA BEKAS DARAH HAID YANG MENEMPEL PADA PAKAIAN DALAM , NAJIS APA TIDAK ???

NODA BEKAS DARAH HAID YANG MENEMPEL PADA PAKAIAN DALAM , NAJIS APA TIDAK ???


Darah termasuk perkara yang dihukumi najis , tak terkecuali darah haid . Darah yang menempel pada pakaian menyebabkan pakaian menjadi mutanajis , pakaian yang terkena najis ( mutanajis ) jika digunakan untuk sholat dihukumi tidak sah  karena salah satu syarat sahnya sholat adalah suci pakaian dan tempat yang digunakan untuk menjalankan sholat.

Pada kasus darah haid yang menempel pada pakaian dalam wanita , hendaknya diperhatikan dengan seksama , karena darah haid termasuk zat najis yang harus dibersihkan secara tuntas dari pakaian . 

Rosullullah SAW menyatakan keharusan membersihkan pakaian yang terjena najis sebelum digunakan untuk sholat .


وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: - "تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Artinya, “Dari Asma binti Abu Bakar RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Pada darah haid yang mengenai pakaian, kau mengoreknya, menggosoknya dengan air, membasuhnya, dan melakukan shalat dengannya,’” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Hadist diatas dapat dipahami bahwa pakaian yang terkena najis darah haid harus dibersihkan secara menyeluruh hingga hilang semua sifat sifat najisnya yaitu rasa , warna dan bau darah haid .

Lalu bagaimana dengan noda bekas darah haid yang tersisa di pakaian dalam meski telah dicuci? Apakah pakaian dengan noda darah haid ini masih terbilang mengandung najis ( mutanajis ) yang tidak bisa digunakan untuk shalat?

Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Kitab Ibanatul AhkamSyarah Bulughul Maram, mengatakan bahwa sisa noda darah haid pada pakaian yang telah dicuci ditoleransi secara syariat.

يعفى عما بقي من أثر اللون بعد الاجتهاد في الغسل بدليل (ولا يضرك أثره) الآتي في الحديث الذي بعده

Artinya, “Bekas warna (najis) yang tersisa pada pakaian dimaafkan setelah pakaian dicuci secara serius dengan dalil hadits selanjutnya yang berbunyi, ‘Bekasnya tidak masalah bagimu,’”
(Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 54).

Adapun hadits yang dimaksud oleh Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki adalah hadits Abu Hurairah RA yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ: - يَا رَسُولَ اَللَّهِ, فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ اَلدَّمُ? قَالَ: "يَكْفِيكِ اَلْمَاءُ, وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ" - أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَنَدُهُ ضَعِيف

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Khawlah RA berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika darah itu tidak hilang?’ ‘Cukup bagimu (mencuci dengan) air itu. Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (HR At-Tirmidzi).

Hadits yang dimasukkan dalam Kitab Bulughul Maram, kumpulan hadits-hadits hukum ini menunjukkan ketiadaan masalah dalam mengenakan pakaian yang masih mengandung noda sisa darah haid setelah dicuci secara sungguhan.

يقف الإنسان أمام ربه طاهر البدن فيجب عليه أن يكون كذالك طاهر الملبس إذا سقطت على ملبوساته إحدى النجاسات كالدم أن يزيل ذلك بكل ما في وسعه ممن مجهود، فإذا تعسرت عليه إزالة لون النجاسة  في الثوب فيغتفر له ذلك (ولن يشاد هذا الدين أحد إلا غلبه) وهذا من سماحة الإسلام وتيسير أحكامه... لا يضر بقاء ريح النجاسة أو لونها إذا تعسرت إزالة ذلك

Artinya, “Seseorang berdiri di hadapan Tuhannya dalam kondisi suci secara fisik sehingga ia juga wajib berdiri dalam kondisi suci di pakaian. Bila salah satu jenis najis seperti darah mengenai pakaiannya, maka ia wajib menyucikan najis tersebut secara sungguhan. Bila penghilangan warna najis di pakaian secara total itu sulit, maka itu dimaafkan sebagaimana hadits ‘Tidak ada seorang pun yang mempersulit agama, kecuali agama itu yang menyulitkannya.’ Ini menjadi bagian dari toleransi Islam dan kemudahan hukum Islam… Sisa bau dan sisa warna najis tidak masalah bila sulit dihilangkan,” 
(Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 55).

Dari penjelasan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa pakaian yang masih tersisa noda darah haid tidak masalah digunakan untuk shalat dan kepentingan ibadah lainnya yang mengharuskan kesucian pada badan, pakaian, dan tempat ibadah setelah diusahakan dibersihkan dengan sungguh sungguh .


7 NAFSU YANG MEMPENGARUHI KEHIDUPAN MANUSIA

7 NAFSU YANG MEMPENGARUHI MANUSIA



Dalam perbicaraan ilmu tasauf, peringkat-peringkat nafsu seorang dan alamat-alamatnya dapatlah dibahagi kepada tujuh darjat atau martabat, dan dalam peringkat-peringkat itu terdapat ahli-ahlinya bagaimana berikut  :

1. NAFSU AMMA-RAH

Tabiat hati ahli peringkat ini selalu terdedah kepada godaan hawa nafsu dan syaitan. Oleh itu nafsu amma-rah sentiasa menyuruh seseorang berbuat kejahatan sama ada ia faham perbuatan itu jahat atau tidak. Baik jahat sama di sisi perasaan hatinya. Ia tidak merasa duka atau menyesal di atas perbuatan jahat, malah kadang-kadang sebaliknya iaitu apabila ia berbuat jahat maka terdapat perasaan lega dan gembira di kalbunya.

Sebagai contoh : Jika tertinggal sembahyang misalnya maka tidak terdapat perasaan runsing atau kesal di atas peninggalan itu tetapi kadang-kadang meninggalkan sembahyang itu lebih memberi rasa ria' dan gembira untuknya. Dan kiaslah lagi contoh-contoh lain umpamanya jika ia mencuri atau dapat memukul orang maka perasaannya lebih gembira dan senang.

Firman Allah :

"Sesungguhnya nafsu (amma-rah) itu sangat menyuruh berbuat jahat"

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ  ۚ  إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِالسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ  ۚ  إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Dan tiadalah aku berani membersihkan diriku; sesungguhnya nafsu manusia itu sangat menyuruh melakukan kejahatan, kecuali orang-orang yang telah diberi rahmat oleh Tuhanku (maka terselamatlah ia dari hasutan nafsu itu). Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani."
[QS. Yusuf: Ayat 53]

Setengah daripada sifat-sifat garisan kasar yang timbul dari benih nafsu amma-rah yang cemar ini ialah :

- Bakhil
- Tamak
- Panjang angan-angan
- sombong Takabbur
- Ingin dan kasihkan kemegahan
- Ingin namanya terkenal dan masyhur
- Hasad Dengki
- Dendam kesumat
- khianat dan niat jahat
- Bertabiat lalai kepada Allah
- Dan lain-lain

Barangsiapa berasa meletup di hati atau merasa berdegup di kalbu dengan salah satu daripada sifat-sifat tersebut maka itulah tandanya ia termasuk dalam golongan amma-rah yang biadap itu : Kebanyakan orang awam kita tidak terkecuali jahil atau berilmu adalah  tak terlepas dari golongan nafsu ini. Bahkan termasuk dalam golongan ini juga sekalipun ia dari orang alim jika terdapat sifat-sifat seumpama itu, kerana dengan semata-mata banyak ilmu tidaklah menukar orang itu menjadi orang sufi  yang bersih hati. Syurga tetap tidak terjamin untuk orang nafsu amma-rah ini kerana ia adalah ibarat tembaga atau besi berkarat yang perlu dibakar lebih dahulu sehingga suci bersih. Syurga tidak terima barang-barang kotor kecuali apabila ia telah dibersih kerana syurga tempat yang bersih.

Nafsu amma-rah ini adalah serendah-rendah darjat dan sejahat-jahat nafsu dalam dunia perbicaraan tasauf. Oleh ituu tempat yang wajar untuk golongan ini ialah kawah neraka sebagai tempat penginapannya.

Jika mahu terkikis sifat-sifat berkarat dan kotor yang timbul dari benih nafsu amma-rah itu hendaklah ia masuk ke dalam golongan sufi serta mengikut cara peraturan orang sufi bagaimana ia dapat meleburkan sifat-sifat durjana yang melekat di hati itu. Dan tidak ada jalan yang lain daripada jalan ini jua kerana jalan ini sudah dicubai dan diistiqra'i oleh orang-orang sufi.

2. NAFSU LAWWA-MAH

Nafsu lawwa-mah ialah nafsu yang selalu mengkritik diri sendiri atau mencela diri sendiri apabila berlaku suatu kejahatan dosa di atas dirinya. Nafsu ini lebih elok dan tinggi sedikit darjatnya daripada nafsu amma-rah tadi kerana ia tidak puas hati di atas dirinya yang melakukan kejahatan lalu ia mencela dan mencerca dirinya sendiri. Sungguhpun darjat nafsu ini tinggi sedikit dari yang dahulu tapi tabiatnya sekali sekala tidak terlepas juga dari jatuh ke dalam jurang angkara dosa dan kejahatan, lalu ia cepat-cepat beristighfar kepada Allah serta menyesal di atas kesalahan yang dilakukan itu. Dalam Quran Tuhan Berfirman :

"Aku bersumpah dengan nafsu lawwa-mah (pencerca dan pengkritik diri)"

وَلَآ أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah dengan "Nafsul Lawwaamah" (Bahawa kamu akan dibangkitkan sesudah mati)!
[QS. Al-Qiyamah: Ayat 2]

Sebagai contoh : Kalau ia tertinggal sembahyang misalnya terdapatlah perasaan kecut hati kerana menyesal  di atas ketinggalan sembahyang itu lalu ia terus pergi qadha' cepat-cepat dengan tiada perasaan hendak bertangguh-tangguh lagi dan bermohon ampun banyak-banyak kepada Allah dengan perasaan yang sungguh-sungguh dan kiaslah lagi di atas perbuatan-perbuatan yang seumpama itu.

Di antara sifat-sifat kasar yang timbul dari benih nafsu lawwa-mah itu ialah :

- Mencela kepada kesalahan diri sendiri
- Bertabiat berfikir (bertafakur)
- Terdapat perasaan kecut hati bila bersalah
- Terdapat perasaan mengkritik terhadap apa jua yang dikatakan kejahatan
- hairan kepada diri sendiri kerana disangka dirinya lebih baik (ajub)
- Membuat suatu kebajikan kerana hendak memperlihat kepada orang lain (ria')
- Memperdengar kepada orang suatu kebajikan yang dibuatnya supaya  mendapat pujian orang suma'ah
- Dan lain-lain daripada sifat-sifat keaipan hati.

Barangsiapa  berasa meletup di hati atau berasa berdegup di hati dengan sifat-sifat umpama itu maka itulah tandanya ia termasuk dalam golongan nafsu lawwa-mah.

Martabat nafsu lawwa-mah ini terletak pada kebanyakan orang awam yang kelas istimewa dari martabat amma-rah tadi. Kecuali dengan mendapat keampunan Tuhan dan rahmatNya kerana ia masih tertinggal melekat dihati sisa-sisa sifat kotor yang perlu dikikis habis iaitu seperti sifat-sifat ujub, ria', suma'ah, dan seumpama daripada sifat-sifat keaipan hati. Ibarat perak bercampur tembaga, dan nilaiannya tinggi dari tembaga berkarat tadi. Dan tak syak lagi bahawa sifat-sifat keaipan hati itu tidak akan terkikis habis-habisan dari lubuk hati melainkan dengan memakai penawar cara leburan orang-orang sufi jua. Lain-lain jalan yang belum dijumpai lagi kerana orang-orang sufi telah membuat cubaan demikian dan pada diri sendiri.

Firman Allah :

"Orang-orang yang bermujahadah pada jalan Kami akan Kami tunjukkan mereka jalan Kami"

وَالَّذِينَ جٰهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا  ۚ  وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak ugama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami (yang menjadikan mereka bergembira serta beroleh keredaan); dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah adalah berserta orang-orang yang berusaha membaiki amalannya.
[QS. Al-'Ankabut: Ayat 69]

3. NAFSU MALHAMAH

Apabila sifat-sifat yang terkeji yang terdapat dalam nafsu amma-rah dan lawwa-mah tadi berjaya dileburkan mengikut cara orang-orang sufi maka bertukarlah darjat nafsu yang tak berbau syurga tadi beralih corak menjadi nafsu mulhamah, nafsu mulhamah ini ialah nafsu yang sudah menerima latihan beberapa proses kesucian dari sifat-sifat hati yang cemar tadi melalui tareqat sufiah. Dan dari kerana kesucian hati itu, terbuanglah lintasan-lintasan fikiran kotor atau khuatir-khuatir syaitan dan mengambil alih di tempat itu oleh khuatir-khuatir dari malaikat atau dari Allah yang mana kita namakan 'ilham'.

Firman Allah :

"Demi nafsu (manusia) dan yang menjadikannya (Allah) lalu diilhamkan Allah kepadanya mana yang buruk dan mana yang baik, sesungguhnya dapat kemenanganlah orang yang menyucinya (nafsu) dan rugilah (celakalah) orang yang mengotorkannya (nafsu)"

وَنَفْسٍ وَمَا سَوّٰىهَا
Demi diri manusia dan Yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya);
[QS. Asy-Syams: Ayat 7]

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوٰىهَا
Serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada bertaqwa; -
[QS. Asy-Syams: Ayat 8]

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَا
Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih - bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan),
[QS. Asy-Syams: Ayat 9]

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَا
Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran maksiat).
[QS. Asy-Syams: Ayat 10]

Di antara sifat-sifat kasar yang timbul dari benih nafsu mulhamah yang baik itu ialah sifat-sifat terpuji bagaimana di bawah :

- Tak sayangkan harta sakhawah
- Berasa cukup dengan kurniaan harta yang ada (qana'ah)
- Berilmu laduni atau ilham
- Timbul perasaan merendah diri kepada Allah (Tawadhu')
- Taubat yang benar-benar (hakiki)
- Sabar yang hakiki
- Tahan menanggung kesusahan
- Dan lain-lain daripada sifat-sifat yang terpuji

Barangsiapa benar-benar teguh merasa dihatinya dengan sifat-sifat tersebut maka itulah tandanya ia termasuk dalam golongan nafsu terpuji itu (mulhamah). Kebanyakan orang-orang sufiah daripada orang awam yang dahulu-dahulu adalah terdiri dari golongan ini. Mereka boleh dinilai atau disifat dengan ahli syurga kerana mereka diibarat sebagai 'suasa' yang tetap bertahan dan tidak boleh berkarat lagi.

Mereka dalam martabat ini boleh dikatakan baru mulai masuk ke sempadan maqam wali yakni mereka kerapkali baru mulai mencapai fana yang menghasilkan rasa makrifat dan hakikat (syuhud) tetapi belum begitu teguh dan kejap kerana mereka dalam martabat ini masih ada kemungkinan akan lenyapnya kembali segala sifat terpuji bagaimana disebut tadi dan kemungkinan hilang lenyap pula rasa makrifat dan hakikat dari hati.

4. NAFSU MUTMA-INNAH

Nafsu Mulhamah tadi sungguhpun bersih dan suci tetapi belum lagi ia sampai kepada kejernihan yang teguh dan apabila nafsu itu teguh dan tetap dalam proses memcapai makrifat dan hakikat dan melekat di hatinya sifat-sifat yang terpuji jua dan tetap pula terkikis dari kalbunya sifat-sifat yang tercela maka di waktu itu berhak ia mendapat gelaran maqam nafsu mutma-innah namanya. Nafsu Mutma-innah adalah permulaan mendapat darjat wali kecil.

Firman Allah Taala dalam Al-Quran :

"Wahai nafsu mutma-innah kembalilah kepada Tuhan engkau sambil berhati suka-ria serta diredhai Tuhan maka masuklah olehmu dalam golongan hamba-hambaKu yang solih dan masuklah syurgaKu"

يٰٓأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
(Setelah menerangkan akibat orang-orang yang tidak menghiraukan akhirat, Tuhan menyatakan bahawa orang-orang yang beriman dan beramal soleh akan disambut dengan kata-kata): "Wahai orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa tenang tetap dengan kepercayaan dan bawaan baiknya! -
[QS. Al-Fajr: Ayat 27]

ارْجِعِىٓ إِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan engkau berpuas hati (dengan segala nikmat yang diberikan) lagi diredhai (di sisi Tuhanmu) ! -
[QS. Al-Fajr: Ayat 28]

فَادْخُلِى فِى عِبٰدِى
"Serta masuklah engkau dalam kumpulan hamba-hambaku yang berbahagia -
[QS. Al-Fajr: Ayat 29]

وَادْخُلِى جَنَّتِى
"Dan masuklah ke dalam SyurgaKu! "
[QS. Al-Fajr: Ayat 30]

Sifat-sifat kerohanian yang timbul dari benih yang waja lagi comel (nafsu mutma-innah) ini ialah bahawa dapat dirasa dalam hati sendiri oleh orang-orang yang berjaya mencapai maqam nafsu yang bertuah itu, akan sifat-sifat di antaranya ialah :

- Murah hati dan tak lekat wang di tangan kerana bersedekah
- Tawakkal yang benar
- Bersifat arif dan bijaksana
- Kuat beribadat
- syukur yang benar
- Redha pada segala hukuman Allah
- Taqwa yang benar
- Dan lain-lain lagi daripada sifat-sifat hati yang waja lagi terpuji.

Biasanya  orang mencapai martabat ini tetapi tidak termesti, akan zahir padanya keramat-keramat  yang luarbiasa, mendapat ilmu dengan tak payah belajar (ilham) kerana ia dapat mengessan rahsia-rahsia Lohmahfuz. Syurga untuk orang golongan ini terjamin kerana mereka ibarat emas tujuh yang bermutu dan lebih mahal dari nilaian nafsu-nafsu yang lepas. Inilah dia nafsu mutma-innah.  Nafsu yang tetap bernilai dan terjamin dengan syurga bagaimana diterangkan oleh Tuhan dalam Quran tadi iaitu dialah yang wajar menerima jemputan Syurga Tuhan.

5. NAFSU RADHIAH

Tadi kita telah membicarakan nafsu mutma-innah yang memang sudah bergelar wali. Ini pula nafsu radhiah iaitu nafsu yang memang wali maqamnya tetapi ia lebih tinggi dari maqam wali mutma-innah tadi. Maqam nafsu ini dinamakan radhiah kerana selain daripada ia berjaya mencapai kejilahan dan kejernihan hati yang teguh itu maka nafsu ini terpocok kejap di dalamnya dengan perasaan keredhaan pada segala hukuman Allah. Bukan senang hendak mencapai maqam keredhaan nafsu ini kerana ia bukanlah umpama sebarang benda yang boleh disumbatkkan ke dalam sarang qalbu jika tidak ada sifat-sifat kelelakian yang benar-benar berhemah tinggi dalam perjuangan mujahadah dan ibadat untuk mencapai maqam nafsu mulia itu sebagaimana mengikut cara kaedah sufiah.

Oleh itu tabiat orang maqam ini adalah luarbiasa, ia tidak takut pada bala Allah dan tak tahu gembira pada nikmat Allah, yang ia tahu hanya keredaan Allah dan hukumanNya. Bahkan gentar gembira atau bala nikmat adalah sama jua di sisinya.

Malah segala masalah keduniaan sama saja di sisi orang-orang wali martabat ini. Wang ringgit sama dengan daun kayu, emas sama dengan tanah kering, segala kesusahan biasa mengenal hal-hal kehidupan dunia bagaimana tak tahan dirasa oleh manusia awam jauh sekali melekat di sarang hati mereka telah diisyaratkan oleh firman Allah :

"sesungguhnya orang-orang wali Allah itu tak pernah rasa ketakutan dan tak pernah rasa kerunsingan di atas mereka itu"

أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita.
[QS. Yunus: Ayat 62]

Mengapa hati mereka sampai begini sekali? Jawabnya ; kerana nafsu mereka sudah terkikis dari akar umbi kesemua sekali karat-karat yang cemar dan pula sinaran nur syuhud  yang membau mereka kepada makrifat, datang bertalu-talu masuk ke dalam hati nurani mereka yang tetap waja itu.

Alam di sekeliling mereka laksana cermin yang boleh mereka nampak Allah di dalamnya setiap ketika bagaimana mawam musyahadah terdapat dalam 'al-ihsan' pada umpama sabda Nabi S.A.W.

Maqam ini digelarkan wali Allah dalam martabat orang khawas. Dan mawam ini baru boleh diibarat emas bermutu lapan. Syurga memang terjamin. Di antara sifat-sifat kerohanian yang timbul dari benih radhiah yang berwaja dan tetap mahal nilaian ini ialah sifat-sifat yang berikut :

- Zahid
- Ikhlas
- Warak
- tinggal perkara-perkara yang bukan kerjanya
- tunai dan tepatkan hukum-hukum Allah
- Dan lain-lain lagi daripada sifat-sifat kerohanian yang tinggi-tinggi

Orang-orang wali maqam radhiah ini dapatlah ia mengecap nikmat sifat-sifat budi yang luhur atau sifat-sifat kerohanian yang tinggi itu dalam setiap ketika.

6. NAFSU MARDHIYYAH

Tak syak lagi maqam mardhiyyah ini lebih tinggi dari maqam radhiah kerana nafsu mereka dan segala hal atau segala apa-apa baik percakapan atau lakonan yang keluar dari mereka adalah diredhai Allah dan diakui Allah. oleh itu maka jadikan jiwa mereka, perasaan mereka, lintasan atau khuatir hati mereka, gerak geri mereka, penglihatan mereka, pendengaran mereka, percakapan mereka, pancaindera mereka, penumbuk tangan mereka, penendang kaki mereka, peludah air liur mereka dan seterusnya kesemuanya adalah diredhai Allah belaka.

Sabda Nabi S.A.W. dalam hadis Qudsi

"Sentiasalah hambaKu berdamping diri kepadaKu dengan mengerjakan ibadat sunat hingga aku kasihkan dia maka apabila Aku kasihkan dia nescaya adalah Aku pendengarannya yang ia mendengar dengan dia, penglihatannya yang ia melihat dengan dia, pertuturan lidahnya yang ia bertutur dengan dia, penampar tangannya yang ia menampar dengan dia, berjalan kakinya yang ia berjalan dengan dia dan fikiran hatinya yang ia berfikir dengan dia"

Maksudnya ialah segala perbuatan atau lakonan yang terbit dari hamba Allah yang wali umpama ini adalah kesemuanya berlaku dengan keredhaan Allah dan keizinan Allah belaka. Oleh itu maka timbullah dari sisinya perkara-perkara ganjil ajaib dan luarbiasa pada pandangan orang ramai umpama berjalan di atas air, terbang di udara, pergi ke Makkah dalam sekelip mata dan lain-lainnya. Dan kerapkali setengah daripada tingkah-lakunya terjadi sebagai tanda kenyataan Allah atau takdir Allah.

Ingatkah tuan cerita Nabi Isa A.S.? iaitu tatkala ia melawat sebuah kubur orang mati dan ia berkata kepadanya serta diisyaratkan kepada mayat dalam kubur itu yakni berdirilah engkau dengan izin Allah! Maka mayat dalam kubur itu pun hidup dan bangun berdiri dan berjalan hidup-hidup.

Cerita umpama itu juga berlaku pada Syeikh ahmad bin Idris (Imam Tareqat Ahmadiah) iaitu pada suatu hari, datang kepadanya seorang suami mengadu hal tentang kematian isterinya akibat ia memukulnya dengan tiada kesedaran dan menyebabkan ia menyesal di atas perbuatan itu, Sidi Syeikh pun jatuh rasa belas kasihan lalu ia pergi ke tempat isteri yang mati itu dan ia berkata kepadanya 'Bangunlah engkau dengan izin Allah' maka bangunlah mayat itu berjalan hidup-hidup.

Sebuah cerita lagi berlaku pada Syeikh abdul Qadir Al-Jailani iaitu tatkala ia sudah selesai dari makan dan tertinggal di hadapannya sisa-sisa tulang ayam, lalu ia menyeru kepada tulang-tulang ayam itu dengan katanya : 'Hai Tulang...! jadilah engkau ayam kembali!'. Maka terjadi tulang-tulang itu seekor ayam berlari hidup-hidup. Sedang ibu seorang budak khadam Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani menyaksi perkara ganjil itu dengan keadaan pelik.

Mengapa keganjilan demikian berlaku? Jawabnya, ialah kerana pengucapan-pengucapan orang maqam mardhiyyah umpama ini telah diredhai dan diizini oleh Allah S.W.T dan satu perkara yang sayugia diingat bahawa di hadapan orang yang umpama ini jangan-janganlah celupar mulut mengatakan sesuatu yang menyinggungkan hatinya, takut-takut terkeluar dari mulutnya pengucapan-pengucapan yang diredhai Allah maka jadi celakalah orang itu.

Berkata Imam Tariqat ahmadiah Sidi Syeikh Ahmad bin Idris Rahmatullah Taala yang masyhur keramatnya :

"Permulaan tareqatku ialah 'gila' diperkatakan orang.

Di pertengahan jalan, datang bermacam-macam ilmu pemberian Allah dengan tak payah belajar.

Dan di akhir Tariqatku ialah 'kun fayakun' (maksudnya datang bermacam-macam keramat jika dikehendaki."

Dengan huraian di atas terang dan fahamlah kepada kita maksud kata-kata hadis qudsi yang mengandungi cerita-cerita keramat tadi.

Orang mencapai maqam mardhiah ini digelar wali Allah dalam martabat Khawas Al-Khawadh yakni wali Allah dalam martabat yang istimewa daripada wali-wali yang tertentu.  Ibarat emas bermutu sembilan, syurga tetap terjamin.

Sifat-sifat budi atau kerohanian yang timbul dari benih waja mardhiah yang bertuah ini, diantaranya ialah :

- elok dan tingginya budi atau kesusilaan, umpama nabi-nabi
- Lemah lembut dalam pergaulan masyarakat ramai bagaimana perangan nabi-nabi
- Sentiasa rasa selera perdampingan dengan Allah
- Sentiasa berfikir pada kebesaran Allah
- Redha dan rela dengan apa-apa pemberian Allah
- Dan lain-lain lagi daripada sifat-sifat budi kesusilaan yang terpuji

7. NAFSU KAMIL

Orang yang hendak mencapai nafsu kamil ini mestilah ia lalui dahulu proses perjalanan nafsu-nafsu satu demi satu yakni dimulai dari nafsu amma-rah, kemudian lawwa-mah, kemudian mulhamah, kemudian seterusnya. Ini jika ia menurut jalan adab tarbiah cara teratur, berlainan orang majdzub maka ia mungkin terlipat atau melangkah jalan dengan cara cepat tetapi orang majdzub ini dibimbangi tidak akan mencapai kejayaan kerana ia tidak ada istiqamah dalam perjalanannya. di sana ada jalan lebih baik dan lebih teratur dari itu iaitu jalan adab tarbiah guru melalui suluk campur jazbah. Inilah jalan terbaik sekali dalam dunia suluk dan tarbiah, seperti yang terdapat pada tareqat ahmadiah, Naqsybandiah dan lain-lain lagi.

Oleh itu orang yang hendak mencapai maqam nafsu al-kamil ini bukan senang malah berhajatlah kepada semangat yang benar-benar tinggi hemah dan berani menempuh jalan yang sukar-sukar dan susah-susah. Syeikh Abdul Kadir al-Jailani umpamanya, selama tiga puluh tahun lebih ia merempuh jalan umpama itu, lain orang lain pula perjalanannya : ada masa yang singkat, ada yang lama.

Maqam nafsu al-kamil ini adalah tertinggi dan teristimewa sekali dari maqam wali-wali yang lain di atas muka bumi ini kerana ia dapat menghimpunkan antara batin dengan zahir atau antara hakikat dengan syariat. Kerana itu maka ia digelarkan maqam Baqa', kamil mukammil, Al-insan kamil, yakni ruh atau hatinya kekal dengan Allah tetapi zahir tubuh kasarnya bersama-sama dalam pergaulan orang-ramai, jadi pemimpin membentuk masyarakat ke arah jalan yang diredhai Allah, seperti bagaimana yang terdapat pada khalifah-khalifah khulafa Al-Rasyidin di dalam zamannya atau sebagainya. Hati mereka umpama ini adalah kekal dengan Allah, sama ada di masa tidur atau jaga kerana mereka dapat musyahadah dengan Allah dalam setiap ketika. Dan maqam ini tidak dapat dinilai dengan apa-apa benda kejadian di alam ini walaupun dengan harga emas sebesar dunia ini kerana ia maqam khawas al-khawas. di ketika itu maka jadilah gerak geri mereka, tutur kata mereka, tidur jaga mereka, makan minum mereka, dan kelakuan mereka adalah ibadat semata-mata.

Rasul-rasul, Nabi-nabi dan wali-wali besar adalah terdiri dari golongan maqam ini belaka, tetapi pangkat Rasul lebih tinggi dari Nabi kerana Rasul maqam risalah ibarat berlian dan maqam nubuwwah ibarat intan.

Sifat-sifat budi utama yang timbul dari benih nafsu al-kamil yang teristimewa ini ialah sifat-sifat kerohanian murni dan juga perangai-perangai terpuji bagaimana yang terdapat dalam peringkat-peringkat nafsu yang baik seperti kita telah huraikan dengan panjang lebar dahulu. Syurga untuk mereka maqam al-kamil ini tetap teristimewa. Ibarat emas bemutu sepuluh.


HAJI TAMATTU' DAN PROBLEMATIKA DIDALAMNYA

HAJI TAMATTU' DAN PROBLEMATIKA DIDALAMNYA



Jama'ah eks Indonesia yang mengambil jalur haji tamattu' tentu menyelesaikan umroh wajib terlebih dahulu. Selesai tahallul dari umrohnya, yang bersangkutan tetap tinggal di Mekkah sambil menunggu saat pelaksanaan wukuf. Selama masa tunggu tersebut yang bersangkutan menganggap dirinya mukim. Terbukti miqat makani untuk mengawali ihram hajinya bergabung dengan para hadirin Masjidil Haram.Haji Tamattu' & Umrohnya

Pertanyaan

  1. Apakah dikenal batasan waktu bepergian dalam kaitannya dengan kebolehan qasar atau jama' sholat, sehingga tidak berlaku istilah mudimus safar bagi jamaah eks Indonesia selama pelaksanaan ibadah haji?
  2. Memanfaatkan masa tunggu pasca tahallul umrah wajib dan pra wukuf, ada kecenderungan jemaah mengerjakan umrah berulangkali. Sebagian diniatkan umrah sunnah dan sebagian karena badal atau niabah untuk oranglain. Apakah perulangan umroh tersebut dibenarkan selama masa tunggu tersebut? Apakah dam tamattu'-nya cukup sekali atau sebanyak perulangan umroh yang dilaksanakan?
  3. Manakah yang lebih afdhal bagi jemaah haji tamattu' dalam menunaikan sholatmaktubah selama masa tunggu pra wukuf, dengan cara qasar atau tam?

Jawaban

  1. Dikenal batasan waktu dan tidak termasuk mudimus safar. Sedangkan batasan waktu dirinci dianggap berakhir safarnya bila: a. Sudah bermukim selama 4 hari di suatu tempat kecuali menurut madzhab Hanafi dianggap berakhir safarnya bila sudah bermukim selama 15 hari b. Niat mukim selama 4 hari atau lebih di suatu tempat. c. Untuk perjalanan wukuf ke Arafah, maka boleh meng-qasar sholat bagi selain penduduk Arafah menurut Malikiyyah.
  2. Dapat dibenarkan, sedangkan dam tamattu'-nya cukup satu kali menurut qaul yang rojih. Sedangkan menurut Imam al-Roimi damnya berbilang sesuai dengan bilangan umroh yang dilakukan.
  3. Bagi yang statusnya musafir maka lebih afdhol qashar, namun kalau mukim maka wajib itmam.

Dasar Pengambilan Hukum

Syarakh al-Idhoh fii Manasikil Hajji, hal: 161-162
( فَرْعٌ )......وَفِيْهِ يُقَالُ قِيَاسُ مَا قَالَهُ الْبَغَوِي أَنَّ الْمُتَمَتِّعَ لَوْ قَرَّرَ الْعُمْرَةَ قَبْلَ حَجِّهِ تَكَرَّرَ الدَّمُ وَهُوَ مَا أَفْتَى بِهِ الرَّمْلِى لَكِنْ قَالَ جَمْعٌ مِنْ مُتَأَخِّرِيْنَ بِعَدَمِهِ وَهُوَ الْأَوْجُهُ وَفِى الْمَجْمُوْعِ فِى مَبْحَثِ التَّمَتُّعِ عَنْ صَاحِبِ الْبَيَانِ مَا يَشْرَحُ بِهِ. وَالْفَرْقُ أَنَّ ْعِلَّةَ وُجُوْبِ الدَّمِ فِى الْقَارِنِ ترفهه بِأَحَدِ الْمِسْكِيْنِ وَهُوَ حَاصِلٌ هُنَا مَعَ رِبْحِهِ لِلْمِيْقَاتِ أَيْضًا فَوَجَبَ الدِّمَانُ. وَفِي الْمُتَمَتِّعِ ربحه لِلْمِيْقَاتِ لِأَنَّهُ لَوْ بَدَأَ بِالْحَجِّ لِاحْتِيَاجِ بَعْدِهِ إِلَى الْخُرُوْجِ لِأَد لِأَدنى الحل لِلِْإحْرَامِ بِالْعُمْرَةِ وَهُوَ غَيْرُ مُتَكَرِّرٍ. وَيُؤْخَذُ مِنْهُ مَعَ مَا مَرَّ وَيَأْتِيْ أَنَّ الْمُوْجِبَ لِدَمِ التَّمَتُّعِ هُوَ الْإِحْرَامُ بِالْعُمْرَةِ مَعَ الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ وَإِنَّهُ يَجُوْزُ تَقْدِيْمُ الدَّمِ عَلَيْهِ وَبَعْدَ الْإِحْرَامِ بِهَا وَإِنَّهَا لَوْ قَدَمَ الدَّمُ هُنَا عَلىَ بَعْضِ الْعُمْرَةِ الْمُتَكَرِّرَةِ لَمْ يَلْزَمْهُ لِلْمُتَأَخِّرَةِ عَنْهُ شَيْئٌ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ هِيَ الْمُوْجِبِ وَإِنَّمَا الْمُوْجِبِ هُوَ الْأُوْلَى وَالْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ كَمَا تَقَرَّرَ.ا ه .
Khasyiyah asy-Syarqowi Juz I Hal: 166
وَلَوْ تَكَرَّرَ الْمُتَمَتِّعُ فِيْ أَشْهُرِ الْحَجِّ لَمْ يَتَكَرَّرْ الدَّمُ عَلَى الرَّاجِحِ.ا ه.
Minhaajut Tholibin Juz I Hal: 20
وَلَوْ تَرَى إِقَامَةَ أََرْبَعَةِ أَيَّامٍ بِمَوْضِعٍ انْقَطَعَ سَفَرُهُ بِوُصُوْلِهِ وَلَا يُحْسَبُ مِنْهَا يَوْمُ دُخُوْلِهِ وَخُرُوْجِهِ عَلَى الصَّحِيْحِ لَوْ أَقَامَ بِبَلَدٍ بِنِيَّةِ أَنْ يَرْحِلَ إِذَا حَصَلَتْ حَاجَةٌ يَتَوَقَّعُهَا كُلَّ وَقْتِ قَصْرٍ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَقِيْلَ أَرْبَعَةٌ. ا ه.
Bughyatul Mustarsyidiin Hal: 76
( مَسْئَلَةُ ش ) وَنَحْوُهُ ب : مَتَى انْقَطَعَ سَفَرُ الْمُسَافِرُ بِأَنْ أَقَامَ بِبَلَدِ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ صِحَاحٍ بِلَا تَوَقُّعِ سَفَرِهِ أَوْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنَ التَّوَقُّعِ أَوْ نَوَى إِقَامَةَ الْأَرْبَعَةِ حَالَ دُخُوْلِهِ أَوْ اشْتَغَلَ نَحْوَ بَيْعٍ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ يَحْتَاجُهَا انْقَطَعَ تَرَخُّصُهُ بِالْقَصْرِ وَالْجَمْعِ وَالْفِطْرِ وَغَيْرِ ذَالِكَ فَتَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ لَكِنْ حِيْنَئِذٍ لَا يُعَدُّ مِنَ الْأَرْبَعِيْنَ.
Madzahibul Arba'ah Juz I Hal: 478
اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا يَمْتَنِعُ الْقَصْرُ إِذَا نَوَى الْإِقَامَةَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مُتَوَالِيَةً كَامِلَةً فَلَوْ نَوَى الْإِقَامَةَ أَقَلَّ ِمنْ ذَالِكَ وَلَوْ بِسَاعَةٍلَا يَكُوْنُ مُقِيْمًا.
Bughyatul Mustarsyidin Hal: 76
( مَسْئَلَةُ ب ش ) أَقَامَ الْحَجُّ بِمَكَّةَ قَبْلَ الْوُقُوْفِ دُوْنَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ صِحَاحٍ لَمْ يَنْقَطِعْ سَفَرُهُ وَحِيْنَئِذٍ فَلَهُ التَّرَخُّصُ فِيْ خُرُوْجِهِ بِعَرَفَاتٍ وَإِنْ كَانَ نِيَّتُهُ الْإِقَامَةَ بِمَكَّةَ بَعْدَ الْحَجِّ إِذْ لَا يَنْقَطِعُ سَفَرُهُ بِذَالِكَ حَتَّى يُقِيْمَ الْإِقَامَةُ الْمُؤَثِّرَةُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ. زَادَ ش وَهَذَا كَمَا لَوْ خَرَجَ أَيْضًا فَالْحَاصِلُ فِي الْمُسَافِرِ الْخَارِجِ إِلَى عَرَفَاتٍ أَنَّهُ إِنْقَطَعَ سَفَرُهُ قَبْلََ خُرُوْجِهِ وَكَانَ نِيَّتُهُ الْإِقَامَةُ بَعْدَ الْحَجِّ لَمْ يَتَرَخَّصْ وَإِلَّا تَرَخَّصَ بِسَائِرِ الرُّخَصِ.
Asy-Syarqowi Juz I Hal: 251
نَعَمْ قَدْ يَكُوْنُ أَفْضَلُ مِنَ الْإِتْمَامِ فِيْمَا إِذَا بَلَغَ سَفَرُهُ ثَلَاثَةَ مَرَاحِلَ.
Al-Khorsyi Juz II Hal: 59
إِنَّ السَّفَرَ الْمُبِيْحَ لِلْقَصْرِ إِنَّمَا هُوَ أَرْبَعَةُ برد – ثُمَّ اسْتُثْنِيَ مِنْ ذَالِكَ مَسْئَلَةُ الْمَكِّيِّ وَالْمُحْصِبِيْ وَالْمَنْوِيْ وَالْمُزْدَلِفِي فَإِنَّهُ يُبَاحُ بَلْ يُسَنُّ لَهُ أَنْ يُقْصِرَ فِيْ خُرُوْجِهِ مِنْ وَطَنِهِ لِمُعَرَّفَةَِ لِلنُّسُكِ وَرُجُوْعِهِ مِنْهَا لِمَكَّةَ وَغَيْرِهَا مِنْ تِلْكَ الْأَوْطَانِ لِلسَّنَةِ وَأُفْهِمَ قَوْلُهُ فِيْ خُرُوْجِهِ وَ رُجُوْعِهِ إِنَّ كُلَّ خَارِجٍ مِنْ وَطَنِهِ يُقْصِرُ فِيْ خُرُوْجِهِ مِنْ رُجُوْعِهِ إِلَيْهِ لَا فِيْهِ فَلَا يُقْصِرُ مَكِيُّ وَمَنْوِيُّ وَمُزْدَلِفِيُّ وَمُحْصِبِيُّ بِمُحَالِهِمْ وَيُقْصِرُ الْمَكِيُّ إِذَ خَرَجَ لِمِنَى.
Hidayatus Saalik Juz III Hal: 993
وَمَذْهَبُ الثَّلَاثَةِ غَيْرُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ الْقَصْرُ بِعَرَفَةٍ إِلَّا لِلْمُسَافِرِ مَسَافَةَ قَصْرٍ، وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ إِنَّهُ يُقْصِرُ بِمعرفة غَيْر أَهْلِهَا وَيُتِمُّ أَهْلُهَا،كَذَالِكَ يُتِمُّ أَهْلُ كُلِّ مَكَانٍ مِنْ مَنَاسِكِ الْحَجِّ الصَّلَاةَ فِيْ مَكَانِهِمْ وَيُقْصِرُوْنَ فِيْهِ مَا سِوَاهُ،أَمَّا تَجْوِيْزِ الْجَمْعِ وَالْقَصْرِ فِيْ مَنَاسِكِ الْحَجِّ لِكُلِّ أَحَدٍ كَمَا يَرَاهُ بَعْضُ النَّاسِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْئٌ مِنَ الْمَذَاهِبِ.
Al-Khawi al-Kabir Juz II Hal: 458
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ جَائِزٌ فَقَد اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْأَفْضَلِ وَالْأُوْلَى عَلَى مَذْهَبَيْنِ أَحَدُهُمَا الْقَصْرُ أَفْضَل اقْتِدَاءٍ بِأَكْثَرَ أَفْعَالِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكْثَرَ أَفْعَالِهِ الْقَصْر وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْخِلَافِ خَارِجًا وَهَذَا هُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَعَلَيْهِ جُمْهُوْرُ أَصْحَابِهِ وَالثَّانِيُّ هُوَ قَوْلُ كَثِيْرٍ مِنْهُمْ أَنَّ الْإِتْمَامَ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْإِتْمَامَ عَزِيْمَةٌ وَالْقَصْرُ رُخْصَةٌ وَالْأَخْذُ بِالْعَزِيْمَةِ أُوْلَى أَلَا تَرَى أَنَّ الصَّوْمَ فِي السَّفَرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ وَغَسْلَ الرِّجْلَيْنِ أَفْضَلُ مِنَ الْمَسْحِ عَلَي الْخُفَّيْنِ.ا ه.

Batas Dagu Wanita Yang Harus Ditutup Saat Sholat

Batas Dagu Wanita 
yang Harus Ditutup Saat Shalat


Deskripsi Masalah

Fenomena salah kaprah yang banyak terjadi di kalangan Umat Islam seringkali kurang mendapat perhatian tentang status hukumnya, entah disebabkan faktor pelakunya, karena sudut pandang yang berbeda dalam menyikapinya, atau bahkan subtansi masalah tergolong perkara yang samar di kalangan masyarakat umum (ma yakhfa ala 'al-'awam). Di antaranya adalah masalah bagian wajah yang wajib tertutup oleh mukena saat wanita melaksanakan sholat. Realitanya banyak desain mukena tidak bisa menutup bagian bawah dagu wanita.

Pertanyaan

Sebenarnya wajibkah wanita menutup bagian bawah dagu ketika melaksanakan shalat?

Jawaban

Wajib menurut madzhab syafi’i namun menurut madzhab hanafiyah dan madzhab malikiyah membuka bawah dagu saat sholat bukan merupakan perkara yang membatalkan sholat.

Referensi

إعانة الطالبين الجزء الأول صـ 50 
(و) ثانيها: (غسل) ظاهر (وجهه) لآ ية: * (فاغسلوا وجوهكم) * (وهو) طولا (ما بين منابت) شعر (رأسه) غالبا (و) تحت (منتهى لحييه) - بفتح اللام - فهو من الوجه دون ما تحته، والشعر النابت على ما تحته، (و) عرضا (ما بين أذنيه). ويجب غسل شعر الوجه من هدب وحاجب وشارب وعنفقة ولحية - وهي ما نبت على الذقن - وهو مجتمع اللحيين - وعذار - هو ما نبت على العظم المحاذي للاذن - وعارض - وهو ما انحط عنه إلى اللحية . (قوله: ما بين منابت إلخ) هي جمع منبت - بفتح الباء - كمقعد. والمراد به ما نبت عليه الشعر بالفعل، لاجل أن يكون لقوله بعد غالبا فائدة وإلا كان ضائعا. وبيان ذلك أنه إن أريد بالمنبت ما نبت عليه الشعر بالفعل يخرج عنه موضع الصلع، ويدخل بقوله غالبا. وإن أريد به ما شأنه النبات عليه يدخل فيه موضع الصلع، فإن من شأنه ذلك. وأما انحسار الشعر فيه فهو لعارض، ويكون قوله غالبا ضائعا، أي لا فائدة فيه. وخرج بإضافة منابت إلى شعر الرأس موضع الغمم، لان الجبهة ليست منبته وإن نبت عليها الشعر. (قوله: فهو من الوجه) أي المنتهى الذي هو طرف المقبل من لحييه كائن من الوجه. (قوله: دون ما تحته) أي المنتهى، فهو ليس من الوجه. (قوله: والشعر النابت) معطوف على ما تحته، أي ودون الشعر النابت على ما تحته. (قوله: ما بين أذنيه) أي وتديهما، والوتد الهنية الناشزة في مقدم الاذن، وإنما كان حد الطول والعرض ما ذكر لحصول المواجهة به.

انكشاف ما تحت الذقن من بدن المرأة فى حال الصلاة والطواف يضر فيكون مبطلا للصلاة والطواف وذلك لأنه داخل فى عموم كلامهم فيما يجب ستره فقولهم عورة الحرة فى الصلاة جميع بدنها إلا الوجه والكفين يفيد ذلك لأمور منها الإستثناء فإنه معيار العموم ، ومنها قولهم يجب عليها أن تستر جزأ من الوجه ىمن جميع الجوانب ليتحقق به كمال الستر لما عداه فظهربذلك أن كشف ذلك يضر ويعتبر مبطلا للصلاة ، ومثلها الطواف هذا مذهب سادتنا الشافعية ، وأما غيرهم كالسادة الحنفية والسادة المالكية فإن ما تحت الذقن ونحوه لايعد كشفه من المرأة مبطلا للصلاة كما يعلم ذلك من عبارات كتب مذاهبهم ، وحينئذ لو وقع ذلك من العاميات اللاتى لم يعرفن كيفية التقليد بمذهب الشافعية فإن صلاتهن صحيحة لأن العامي لامذهب له وحتى من العارفات بنذهب الشلفعى إذا أردن تقليد غير الشافعي ممن يرى ذلك فإن صلاتهن تكون صحيحة لأن أهل المذاهب الأربعة كلهم على هدى فجزاهم الله عنا خير الجزاء وبذلك يعلم أن هذه المسألة التى وقع السوأل عنها هي فى موضع خلاف بين أئمة المذاهب وليست من المجمع عليه والحمد لله الذى جعل فى الأمور سعة

Pertanyaan

Jika memang wajib, adakah pendapat dalam mazhab Syafi’i yang tidak mewajibkan menutup bagian tersebut?

Jawaban

Belum ditemukan

Pertanyaan

Jika tidak ada pendapat yang membolehkan membuka bagian bawah dagu, bagaimana solusi untuk fenomena tersebut mengingat mayoritas kaum wanita tidak menutup bagian tersebut saat melaksanakan shalat yang tentunya berkonsekuensi pada batalnya shalat?

Jawaban

Sholatnya sah mengacu pada pendapat Malikiyah atau Hanafiyyah

Referensi

مذاهب الأربعة الجزء الأول ص 188 
المالكية قالوا إن العورة في الرجل والمرأة بالنسبة للصلاة تنقسم إلى قسمين مغلظة ومخففة ولكل منها حكم إلى أن قال..... والمغلظة للحرة جميع بدنها ماعدا الأطرف والصدر وماحاذاه من الظهر والمخففة لها هي الصدر وماحاذاه من الظهر والذراعين والعنق والرأس ومن الركبة إلى آخر القدم أما الوجه و الكفان ظهراوبطنا فهما ليستا من العورة مطلقا- إلى أن قال- فمن صلى مكشوف العورة المغلظة كلها أو بعضها ولو قليلا من القدرة على الستر ولوبشراء ساتر أواستعارته أو قبول إعارته لاهبته بطلت صلاته إن كان ذاكرا وأعادها وجوبا أبدا أي سواء أبقي وقتها أم خرج أم العورة المخففة فإن كشفها كلا أو بعضا لا يبطل الصلاة وإن كان كشفها حرما أو مكروها في الصلاة ويحرم النظر إليها ولكن يستحب لمن صلى مكشوف العورة المخففة أن يعيد الصلاة في الوقة مستورا على التفصيل إلخ الياقوت النفيس ...

Pertanyaan

Apakah kasus ini bisa dikategorikan ma yakhfa ala 'al-'awam?

Jawaban

Bukan termasuk

Referensi

فتاوي اسماعيل الزين صـ 52 
انكشاف ما تحت الذقن من بدن المرأة فى حال الصلاة والطواف يضر فيكون مبطلا للصلاة والطواف وذلك لأنه داخل فى عموم كلامهم فيما يجب ستره فقولهم عورة الحرة فى الصلاة جميع بدنها إلا الوجه والكفين يفيد ذلك لأمور منها الإستثناء فإنه معيار العموم ، ومنها قولهم يجب عليها أن تستر جزأ من الوجه ىمن جميع الجوانب ليتحقق به كمال الستر لما عداه فظهربذلك أن كشف ذلك يضر ويعتبر مبطلا للصلاة ، ومثلها الطواف هذا مذهب سادتنا الشافعية ، وأما غيرهم كالسادة الحنفية والسادة المالكية فإن ما تحت الذقن ونحوه لايعد كشفه من المرأة مبطلا للصلاة كما يعلم ذلك من عبارات كتب مذاهبهم ، وحينئذ لو وقع ذلك من العاميات اللاتى لم يعرفن كيفية التقليد بمذهب الشافعية فإن صلاتهن صحيحة لأن العامي لامذهب له وحتى من العارفات بنذهب الشلفعى إذا أردن تقليد غير الشافعي ممن يرى ذلك فإن صلاتهن تكون صحيحة لأن أهل المذاهب الأربعة كلهم على هدى فجزاهم الله عنا خير الجزاء وبذلك يعلم أن هذه المسألة التى وقع السوأل عنها هي فى موضع خلاف بين أئمة المذاهب وليست من المجمع عليه والحمد لله الذى جعل فى الأمور سعة

POLITIK DAN DEMOKRASI MENURUT IMAM MAWARDI

POLITIK DAN DEMOKRASI MENURUT IMAM MAWARDI
Oleh : Dr. Jamal Makmur Asmani



Politik menurut Imam Mawardi adalah jalan Menjaga agama Dan mengatur dunia (حراسة الدين وسياسة الدنيا).

Oleh sebab itu, menegakkan kepemimpinan hukumnya wajib dengan ijma' (konsensus ulama). Kewajiban ini Ada yang mengatakan berbasis akal yang mencegah manusia berbuat dzalim, agitasi, Dan konflik. 

Sebagian mengatakan kewajiban ini berdasarkan syara' sesuai firman Allah dalam QS. An Nisa' 59.

Kewajiban menegakkan kepemimpinan ini bersifat kolektif (kifayah), seperti jihad Dan mencari ilmu. Jika ada yang sudah menegakkan, maka gugur bagi yang lain. Jika tdk Ada, maka Harus ada dua kelompok yang  menegakkan: 

Pertama, kelompok pilihan (اهل الاختيار) yang memilih seorang pemimpin. Kelompok ini harus Adil, punya ilmu, banyak gagasan Dan punya kearifan dalam memilih pemimpin yang lebih layak Dan tegak dalam mewujudkan kemaslahatan. 

Kedua, kelompok pemimpin (اهل الامامة) yang bertugas menetapkan seorang pemimpin di antara mereka. Kelompok ini harus Adil, punya kapasitas intelektual memadai, sehat fisik, punya kekuatan mobilitas tinggi, kemampuan manajemen, keberanian Dan intelegensi dalam Menjaga Negara Dan menghadapi musuh. 

Syarat pemimpin yang terakhir yang disampaikan Al Mawardi adalah keturunan Quraish. Sesuai hadis Nabi : الأئمة من قريش 

Pendapat terakhir ini menjadi perdebatan jika diterapkan di era sekarang. Mgkn zaman Nabi hadis di atas sangat tepat Dan kontekstual sehingga bisa meredakan konflik Anshar Dan Muhajirin dalam perebutan kekuasaan pasca Nabi. 

Transisi Kepemimpinan

Imam Mawardi menjelaskan, Pemimpin bisa dipilih dengan Dua jalan. 

Pertama, dipilih pemimpin sebelumnya. Hal ini pernah terjadi ketika Abu Bakar memilih Umar bin Khatab sebagai penggantinya. 

Kedua, dipilih ahlul halli Wal aqdi (Ahwa), orang-orang pilihan. Hal ini pernah terjadi saat Umar bin Khattab memilih beberapa orang yang mereka kemudian memilih Utsman bin Affan. 

KH M Said Abdurrahim Sarang melebarkan konsep Ahwa dalam konteks Indonesia kepada seluruh warga Negara. 

Dalam banyak kitab Kuning dijelaskan jika dalam kondisi darurat, pemimpin bisa berkuasa dengan dukungan mayoritas. Hal ini terjadi era Soerkarno yang diberi legalitas NU dengan sebutan ولي الأمر الضروري بالشوكة (penguasa dalam kondisi darurat dengan dukungan mayoritas). 

Jangan Golput

Melihat pentingnya hukum memilih pemimpin, maka jangan Golput. Pilihlah pemimpin yang paling baik kompetensi ilmunya (اعلم), paling Adil (اعدل), Dan paling membawa kemaslahatan bagi orang lain (اصلح). 

Hal ini bisa dilihat Dari rekam jejak (track record) dalam waktu yang panjang, Tidak hanya sehari, seminggu, sebulan, setahun, tapi selama Lima tahun atau sepuluh tahun ke belakang. 

Jangan Curang

Aturan yang ada ditegakkan Dan hindari hal-hal yang dilarang Agama Dan Undang-Undang sekaligus, seperti money politic (رشوة).

Aturan yang ditegakkan diharapkan akan melahirkan pemimpin yang shidiq, amanah, tabligh, Dan fathanah yang membawa kemajuan Dan Kebangkitan bangsa di segala aspek kehidupan.

Sarasehan PCNU Pati-Bawaslu Pati,
JUM'AT, 15 Maret 2019

Hukum Puasa Rajab Dan Kontriversi Didalamnya

HUKUM PUASA RAJAB DAN KONTRIVERSI DIDALAMNYA

oleh Faris Khoirul Anam
(Aswaja NU Center Jawa Timur)



1. Mengamalkan Puasa Rajab sebagai bagian dari Bulan-Bulan Mulia (Asyhurul Hurum): YES!

2. Mengamalkan puasa karena kekhususan Bulan Rajab:

a. Mengamalkan hadits palsu  (maudhu’): NO!
b. Mengamalkan hadits dha’if dan memenuhi syarat-syaratnya: YES!

Kesimpulan tersebut berdasarkan beberapa keterangan, yaitu:

Pertama, terdapat hadits yang menjelaskan tentang puasa di Bulan-Bulan Mulia (Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, Rajab). Misalnya adalah hadits berikut:

عن أبي مجيبة الباهلي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له: صم من الحُـرُم واترك، صم من الحرم واترك. (رواه أحمد وأبو داود)

Diriwayatkan dari Abu Mujibah al-Bahili bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya, “Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkan, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Mengomentari hadits ini, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Puasa Rajab sebagai bagian dari Bulan-Bulan Mulia adalah amaliah yang disyariatkan. Bahkan Rajab adalah bulan mulia yang paling utama. Orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Rajab semuanya palsu, termasuk hadits tentang puasa di bulan-bulan mulia ini, maka dia telah membuat kedustaan dan harus bertaubat.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan:

فَتَأَمَّلْ أَمْرَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِصَوْمِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ فِي الرِّوَايَةِ الْأُولَى وَبِالصَّوْمِ مِنْهَا فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ تَجِدهُ نَصًّا فِي الْأَمْرِ بِصَوْمِ رَجَب أَوْ بِالصَّوْمِ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ بَلْ هُوَ مِنْ أَفْضَلِهَا فَقَوْلُ هَذَا الْجَاهِلِ إنَّ أَحَادِيثَ صَوْمِ رَجَب مَوْضُوعَةٌ إنْ أَرَادَ بِهِ مَا يَشْمَلُ الْأَحَادِيثَ الدَّالَّةَ عَلَى صَوْمِهِ عُمُومًا وَخُصُوصًا فَكِذْبٌ مِنْهُ وَبُهْتَان فَلْيَتُبْ عَنْ ذَلِكَ، وَإِلَّا عُزِّرَ عَلَيْهِ التَّعْزِيرَ الْبَلِيغَ نَعَمْ. (الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 54)

“Perhatikanlah perintah Nabi SAW untuk berpuasa pada bulan-bulan mulia pada riwayat pertama dan untuk berpuasa di antaranya pada riwayat kedua. Anda mendapati nas berupa perintah untuk berpuasa Rajab atau berpuasa di antara harinya. Hal itu karena Rajab termasuk bagian bulan-bulan mulia, bahkan yang paling utama di antara bulan mulia lainnya. Lalu, orang bodoh ini mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Rajab semuanya palsu. Jika ia mengatakan itu dengan tujuan memasukkan hadits-hadits perintah untuk melaksanakan puasa Rajab secara umum atau secara khusus, maka itu adalah kedustaan dan kebohongan darinya. Dia harus bertaubat. Jika tidak mau, dia harus dihukum takzir dengan berat.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Vol 2, 54)

Kedua, memang terdapat hadits palsu tentang bulan Rajab. Namun pengamalan Puasa Rajab oleh para ulama tidak didasarkan pada hadits-hadits palsu itu. Dijelaskan dalam al-Fatawa al-Kubra, Vol 2, 54:

رُوِيَ فِي فَضْلِ صَوْمِهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ مَوْضُوعَةٌ، وَأَئِمَّتُنَا وَغَيْرُهُمْ لَمْ يُعَوِّلُوا فِي نَدْبِ صَوْمِهِ عَلَيْهَا حَاشَاهُمْ مِنْ ذَلِكَ. الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 54)

“Tentang keutamaan puasa Rajab, telah diriwayatkan hadits-hadits palsu yang banyak. Namun para ulama kita tidak berpendapat tentang keutamaan Puasa Rajab berdasarkan hadits-hadits palsu itu. Mereka tidak mungkin melakukan hal itu.”

Ketiga, terdapat beberapa hadits lemah (dha’if) tentang Puasa Rajab. Namun hadits tersebut dapat diamalkan karena puasa Rajab merupakan Ibadah-Ibadah Tambahan (Fadhail al-A’mal). Diterangkan dalam al-Fatawa:

)وَسُئِلَ) نَفَعَ اللَّهُ بِهِ عَنْ حَدِيث «إنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْرًا يُقَالُ لَهُ رَجَبٌ مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنْ الْعَسَلِ مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ» وَحَدِيثِ «مَنْ صَامَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ الْخَمِيسَ وَالْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ كُتِبَ لَهُ عِبَادَةُ سَبْعِمِائَةِ سَنَةٍ» وَحَدِيثِ «مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ كَانَ كَصِيَامِ شَهْرٍ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ أُغْلِقَتْ عَنْهُ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ السَّبْعَةُ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ عَشَرَةَ أَيَّامٍ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُهُ حَسَنَاتٍ» هَلْ هِيَ مَوْضُوعَةٌ أَمْ لَا؟

)فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ لَيْسَتْ مَوْضُوعَةً بَلْ ضَعِيفَةٌ فَتَجُوز رِوَايَتُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا فِي الْفَضَائِلِ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْأَوَّلِ لَيْسَ فِي إسْنَادِهِ مَنْ يُنْظَرُ فِي حَالِهِ سِوَى مَنْصُورٍ الْأَسَدِيِّ وَقَدْ رَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ لَكِنْ لَمْ أَرَ فِيهِ تَعْدِيلًا وَقَدْ ذَكَرَهُ الذَّهَبِيُّ وَضَعَّفَهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَالَ فِي الثَّانِي لَهُ طُرُقٌ بِلَفْظِ عِبَادَةُ سِتِّينَ سَنَةٍ وَهُوَ أَشْبَهُ وَمَخْرَجه أَحْسَنُ وَإِسْنَادُهُ أَشَدُّ مِنْ الضَّعِيفِ قَرِيبٌ مِنْ الْحَسَنِ وَالثَّالِثُ لَهُ طُرُقٌ وَشَوَاهِدُ ضَعِيفَةٌ يُرْتَقَى بِهَا عَنْ كَوْنِهِ مَوْضُوعًا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 86)

Beliau (Ibnu Hajar) – semoga Allah memberikan kemanfaatan untuk beliau – ditanya tentang hadits (yang artinya):  “Sesungguhnya di surga terdapat sungai bernama Rajab. Airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu. Barangsiapa berpuasa satu hari dari Bulan Rajab maka Allah akan memberinya air minum dari sungai itu.” Beliau juga ditanya tentang hadits (yang artinya): “Barangsiapa berpuasa hari Kamis, Jum’at, Sabtu, setiap bulan, maka dicatat untuknya ibadah 700 tahun.” Demikian pula beliau ditanya tentang hadits (yang artinya):“Barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, seakan dia berpuasa satu bulan. Barangsiapa berpuasa tujuh hari, tujuh pintu neraka Jahanam dikunci untuknya. Barangsiapa berpuasa delapan hari, delapan pintu surga dibuka untuknya. Barangsiapa berpuasa sepuluh hari, keburukannya diganti dengan kebaikan.”

Hadits-hadits itu palsu atau tidak?

Imam Ibnu Hajar menjawab, “Hadits-hadits itu tidak palsu (maudhu’), namun lemah (dha’if). Maka periawayatan dan pengamalannya boleh untuk ibadah-ibadah tambahan (fadhail al-a’mal). (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Vol 2, 86)

Secara rinci, Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits pertama dha’if, hadits kedua lebih kuat dari dha’if atau mendekati hasan, sementara hadits ketiga memiliki jalur-jalur periwayatan lain yang juga dha’if, sehingga tidak dapat dihukumi sebagai hadits palsu.

قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْأَوَّلِ لَيْسَ فِي إسْنَادِهِ مَنْ يُنْظَرُ فِي حَالِهِ سِوَى مَنْصُورٍ الْأَسَدِيِّ وَقَدْ رَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ لَكِنْ لَمْ أَرَ فِيهِ تَعْدِيلًا وَقَدْ ذَكَرَهُ الذَّهَبِيُّ وَضَعَّفَهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَالَ فِي الثَّانِي لَهُ طُرُقٌ بِلَفْظِ عِبَادَةُ سِتِّينَ سَنَةٍ وَهُوَ أَشْبَهُ وَمَخْرَجه أَحْسَنُ وَإِسْنَادُهُ أَشَدُّ مِنْ الضَّعِيفِ قَرِيبٌ مِنْ الْحَسَنِ وَالثَّالِثُ لَهُ طُرُقٌ وَشَوَاهِدُ ضَعِيفَةٌ يُرْتَقَى بِهَا عَنْ كَوْنِهِ مَوْضُوعًا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan tentang hadits pertama bahwa dalam sanadnya tidak ada yang dapat dikaji personifikasinya kecuali Manshur al-Asadi. Sekelompok ulama meriwayatkan hadits darinya, namun tidak ada yang men-ta’dil. Al-Zhahabi menghuminya dha’if dengan hadits ini. Tentang hadits kedua, ia memiliki banyak jalur periwayatan dengan redaksi ‘ibadah 60 tahun’. Redaksinya lebih mirip, statusnya lebih baik, dan sanadnya lebih kuat dari dha’if, dekat pada status hadits hasan. Hadits kedua memiliki jalur-jalur periwayatan lain yang juga dha’if, sehingga dapat naik derajatnya, tidak dapat dihukumi sebagai hadits palsu. Wallahu a’lam.”

Lebih lanjut, ulama ahli hadits bermadzhab Syafi’i itu menyebut orang yang mengingkari pengamalan Puasa Rajab karena haditsnya dha’if adalah orang bodoh yang tertipu. Beliau menjelaskan:

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضِلَ، وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا وَلَا شَكَّ أَنَّ صَوْمَ رَجَبٍ مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ فَيُكْتَفَى فِيهِ بِالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ. الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 54)

“Dapat ditetapkan bahwa hadits dha’if, mursal, munqathi’, mu’dhal, dan mauquf, sesuai kesepakatan para ulama dapat diamalkan pada ibadah-ibadah tambahan (fadhail al-a’mal). Tak diragukan bahwa Puasa Rajab termasuk ibadah-ibadah tambahan, maka pengamalannya cukup berdasarkan hadits-hadits dha’if dan sejenisnya. Orang yang mengingkari hal itu adalah orang bodoh yang tertipu.” (al-Fatawa al-Kubra, Vol 2, 54)

Wallahu a’lam

Hukum membuat negara Khilafah pada zaman sekarang

HUKUM MEMBUAT NEGARA KHILAFAH PADA ZAMAN SEKARANG 



Pertanyaan

Wajibkah diupayakan terbentuk pemerintahan Internasional berasas Islam dengan system kepemimpinan khalifah dan negara-negara yang berpenduduk muslim diberlakukan sebagai negara federal (manthiqi) pada masa sekarang ?

Jawaban

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
  1. tidak boleh terjadi lebih dari satu pemimpin (imam) bahkan hanya ada satu pemimpin untuk seluruh dunia. Pada pendapat pertama ini masih terjadi perbedaan lagi, yaitu:
    1. tidak memperbolehkan secara mutlak, baik adanya wilayah kedaulatan Islam semakin meluas maupun tidak.
    2. Tidak memperbolehkan jika memang tidak terdapat halangan untuk bersatu atas pemimpin (imam). Jadi jika terdapat halangan seperti makin meluasnya kawasan yang dihuni umat Islam yang tidak hanya satu pulau saja bahkan sampai ada pulau yang berbeda-beda yang tentu akan semakin jauh dari pengawasan imam, maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan membentuk pemimpin (imam) lebih dari satu orang.
  2. Memperbolehkan adanya lebih dari satu pemimpin (imam) secara mutlak.
Ibarat:
الإمامة العظمى عند اهل السنة والجماعة،ص:551-561،ط: دار الفكر، مانصه:
ومن خلال هذه الدراسة إتضح أن في المسئلة مذهبين:المذهب الأول، وهو مذهب جماهير المسلمين من اهل السنة والجماعة وغيرهم قديما وحديثا،وهو أنه لا يجوز تعدد الأمة في زمان واحد وفي مكان واحد. قال الماوردي: إذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنه لايجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد وإن شذ قوم فجوزوه. وقال النووي: إتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد، وهؤلاء القائلون بالمنع على مذهبين:
* قوم قالوا بالمنع مطلقا سواء إتسعت رقعت الدولة الإسلامية أم لا، وإلى هذا القول ذهب أكثر أهل السنة والجماعة وبعض المعتزلة حتى زعم النووي إتفاق العلماء عليه
* وهناك من قال بالمنع إلا أن يكون هناك سبب مانع من الإتحاد على إمام واحد ويقتضي هذا السبب التعدد.وفي هذه الحالة يجوزالتعدد
وذكر إمام الحرمين الجويني أهم هذه الأسباب في (قوله منها إتساع الخطة وانسحاب الإسلامي على أقطار متباينة وجزائر في لجج متقاذفة. وقد يقع قوم من الناس نبذة من الدنيا لاينتهي إليهم نظر الإمام وقد يتولج خط من ديار الكفر بين خطة الإسلام وينقطع بسبب ذلك نظر الإمام عن الذين وراءه من المسلمين. قال: فإذا اتفق ماذكر ناه فقد صار صائرون عند ذلك
إلى تجويز نصب الإمام في القطر الذي لا يبلغه اثر نظم الإمام. وعزا الجويني هذا القول إلى شيخه أبي الحسن الأشعري والأستاذ أبي إسحاق الإسفراييني وهو وجه لبعض أصحاب الشافعي ورجحه أبو منصور البغدادي، وإلى ذلك ذهب القرطبي في تفسيره فقال: لكن إذا تباعدت الأقطار وتباينت كالأندلس وخرسان حاز ذلك، لكن يلاحظ من أقوال المجيزين عند اتساع الرقعة إنما ذلك بسبب الضرورة، وإلا فإن وحدة الإمامة هي الأصل، وإن التعدد إنما أبيح على سبيل الإستثناء المحض ولضرورات نجيزه، والضرورة تقدر بقدرها وإذا زالت الضرورة زال حكمها وبقى الأصل. المذهب الثاني القائلون بجواز التعدد مطلقا، وإلى ذلك ذهب بعض المعتزلة كالجاحظ وبعض الكرامية وعلى رأسهم محمد بن كرام السجستاني الذي ينتسبون إليه، وكذلك أبو الصباح السمرقندي.
السيل الجرار جز 4 ص:512 ف:الشيخ محمد بن علي بن محمد الشوكانى
واما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد اطرافه فمعلوم انه قد صار لكل قطر او اقطار الولاية الى امام مو سلطان وفي القطر الاخر او الاقطر كذلك ولا ينفذ لبعضهم امر ولا نهي في القطر الاخر واقطاره التي رجعت الى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة واسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على اهل القطر الذي ينقذ فيه او أمره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الاخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولايته وبايعه اهله كان الحكم فيه ان يقتل اذا لم يتب ولايجب على اهل القطر الاخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الاقطار وانه قدلايبلغ الى ما تباعد منها خبر امامها اوسلطانها ولايدرى من قام منهم او مات فالتكليف بالطاعة والحال هذه تكليف بما لا يطاق وهذا معلوم لكل من له اطلاع على احوال العباد والبلاد فان اهل الصين والهند لايدرون بمن له الولاية في ارض المغرب فضلا عن ان يتمكنوا من طاعته وهكذا العكس وكذلك اهل ماوراء النهر لا يدرون بمن له الولاية في اليمن وهكذا العكس فاعرف هذا فانه المناسب للقواعد الشرعية والمطابق لما تدل عليهالادلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فان الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن اوضح من شمس النهار ومن انكر هذا فهو مباهت لايستحق ان يخاطب بالحاجة لانه لايعقل

Hukum Jihad Dengan Tujuan Mengganti NKRI Menjadi Daulah Islamiyah

Hukum Jihad Dengan Tujuan Mengganti NKRI Menjadi Daulah Islamiyah




Pertanyaan

Bolehkah dilaksanakan jihad dengan target mengganti NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjadi Daulah Islamiyah?

Jawaban

Jihad dengan target mengganti NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945 dengan Daulah islamiyah tidak bisa dibenarkan, karena jika hal itu dilakukan sudah pasti menimbulkan kekacauan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat dimana-mana dan bahkan bisa terjadi perang saudara yang justru semakin jauh dari target jihad yang dicita-citakan.
Ibarat:
الإمام العظمى عنداهل السنة والجماعة،ص:502،مانصه:
ذهب غالب أهل السنة والجماعة إلى أنه لايجوز الخروج على أئمة الظلم والجور بالسيف مالم يصل بهم ظلمهم وجورهم إلى الكفر البواح أو ترك الصلاة والدعوة إليها أوقيادة الأمة بغير كتاب الله تعالى كما نصت عليها الأحاديث السابقة في أسباب العزل
التشريع الجنائ الإسلامى جز 2 ص:677، ف:الشيخ عبد القادر عودة، ط:مؤسسة الرسالة
ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام يؤدي عادة الى هو انكار مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان من شروطه لايؤدي الانكار الى ما هو انكار من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام

Pertanyaan

Adakah perintah jihad melawan WNA yang tinggal di Indonesia dalam jangka waktu lama/sementara dengan alasan negara asal mereka mengintimidasi umat Islam?

Jawaban

Bila yang dimaksud Jihad adalah qital (memerangi) maka tidak ada perintah untuk jihad dan bahkan ada kewajiban atas kita untuk berupaya menciptakan rasa aman bagi mereka
Ibarat:
قرة العين للعلامة الشيخ محمد سليمان الكردي المدني الشافعي ص:208-209،مانصه:
الذي يظهر للفقير أنهم حيث دخلوا بلدنا للتجارة معتمدين على العادة المطردة من منع السلطان من ظلمهم وأخذ أموالهم وقتل نفوسهم وظنوا أن ذلك عقد أمان صحيح لايجوز إغتيالهم، بل يجب تبليغهم ألمأمن...لآن السلطان فيها جرت عادته بالذب عنهم، وهو عين الأمان.

Pertanyaan

Layakkah senjata organik TNI/Kepolisian RI distatuskan sebagai harta fai' dan boleh dilucuti dalam kerangka Jihad?

Jawaban

Tidak layak menjadi harta fai' (rampasan) karena tidak memenuhi kriteria sebagai harta fai'
Ibarat:
اسعاد الرفيق جز 1 ص:66
الفيء في اللغة الرجوع واصطلاحا هو المال اذى يؤخذ من الحربين من غير قتال اي بطريق الصلح كالجزية والخراج
البيان في فقه الإمام الشافعي.ج:12،ص:187، ف:العمرانى مانصه:
الفيء هو المال الذي يأخذه المسلمون من الكفار بغير قتال، سمي بذلك لأنه يرجع من المشركين إلى المسلمين. يقال: فاء الفيء:إذا رجع، وفاء فلان: إذا رجع.والفيء ينقسم قسمين: أحدهما أن يتخلى الكفار عن أوطانهم خوفا من المسلمين ويتركوا فيها أموالا فيأخذها المسلمون، أو يبذلوا أموالا للكف عنهم، فهذا يخمس ويصرف خمسه إلى من يصرف إليه خمس الغنيمة على ما مضى. والثاني: الجزية التي تؤخذ من أهل الذمة وعشور تجارة أهل الحرب إذا دخلوا دار الإسلام ومال من مات منهم في دار الإسلام ولا وارث له، ومال من مات أو قتل على الردة.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Islam Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger