HOAX ( berita bohong ) Dalam Pandangan Islam

HOAX ( berita bohong ) Dalam Pandangan Islam


HOAK  satu istilah yang sedang ramai dibicarakan dan mungkin malah ramai dilakukqan secara masif dengan agenda dan tujuan yang berbeda dari penyebar HOAK .
HOAK atau dalam arti lain diistilahkan dengan berita bohong (palsu )

 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12).
----------------------------------------
Ringkasan Tafsir Al Qurthubi

Pada ayat ini terdapat beberapa masalah yang dapat dibahas.
1. Firman Allah ,"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka"

Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang 2 orang sahabat Nabi SAW yang menggunjing seorang temannya. Peristiwa itu bermula dari kebiasaan Rasulullah SAW saat melakukan perjalanan, dimana Rasulullah SAW selalu menggabungkan seorang lelaki miskin kepada dua orang lelaki kaya, dimana lelaki miskin ini bertugas untuk melayani mereka.
Dalam kasus ini, Rasulullah SAW kemudian menggabungkan Salman kepada dua orang lelaki kaya. Singkat cerita, pada saat 2 orang lelaki kaya tersebut lapar (tidak ada lauk maupun makanan yang dpt dimakan) maka mereka menyuruh Salman untuk meminta makan kepada Rasulullah SAW Setelah bertemu Rasulullah SAW, Beliau berkata kepada Salman, "Pergilah engkau kepada Usamah bin Zaid, katakanlah padanya, jika dia mempunyai sisa makanan, maka hendaklah dia memberikannya kepadamu"

Setelah bertemu dengan Usamah, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memiliki apapun. Akhirnya Salman kembali kepada kedua lelaki kaya tersebut dan memberitahukan hal itu (tidak adanya makanan). Namun kedua lelaki tersebut berkata, "Sesungguhnya Usamah itu mempunyai sesuatu, tapi dia itu kikir". Selanjutnya mereka mengutus Salman ketempat sekelompok sahabat, namun Salman tidak menemukan apapun di tempat mereka.
Akhirnya kedua lelaki tersebut memata-matai Usamah untuk melihat apakah Usamah memiliki sesuatu atau tidak. Tindakan mereka ini akhirnya terlihat oleh Rasulullah SAW dan Beliau bersabda, "Mengapa aku melihat daging segar di mulut kalian berdua?" Mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, demi Allah, hari ini kami tidak makan daging atau yang lainnya." Rasulullah SAW bersabda, "Tapi, kalian sudah memakan daging Usamah dan Salman". Maka turunlah ayat ini, "Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa".

Demikianlah yang dituturkan Ats-Tsa'labi.
Maksud Firman Allah diatas adalah : Janganlah kalian mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang baik, jika kalian tahu bahwa pada zahirnya mereka itu baik.

2. Dalam Shohih Al Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Janganlah kalian berprasangka (curiga), karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari berita atau mendengarkan aib orang, janganlah kalian mencari-cari keburukan orang, janganlah kalian saling menipu, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara" (Lafaz hadits ini milik Al Bukhari)

Para Ulama (Mazhab Maliki) berkata, "Dengan demikian prasangka (yang dimaksud) disini, juga pada ayat tersebut, adalah tuduhan (kecurigaan) dan adanya sesuatu yang perlu diwaspadai. Tuduhan (kecurigaan) yang terlarang adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya, seperti seseorang dituduh berzina atau mengkonsumsi khamr, misalnya, padahal tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada tuduhan tersebut dalam dirinya.

Bukti bahwa prasangka disini berarti tuduhan (kecurigaan) adalah Firman Allah Ta'ala, "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain".
Hal itu disebabkan sejak semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurigaan), kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita mengenai hal itu, guna memastikan tuduhan/kecurigaan yang ada pada dirinya itu. Oleh karena itu Rasulullah SAW melarang hal itu.
Jadi intinya, prasangka yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti. Maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zahirnya baik, tidak ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan, maupun tabiatnya yang memang tercela, serta memang orang tersebut adalah orang yang "baik" maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut. Berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukannya, suka menipu, suka berbuat onar, mencari masalah, yang pada intinya orang tersebut memang terkenal dengan tabiat buruknya, suka berbuat keburukan terang-terangan, maka diperbolehkan kita berhati-hati dan tidak mudah/langsung percaya terhadap apa yang dikatakannya/informasinya (harus dilakukan cek dan ricek kebenaran berita tersebut)

3. Prasangka (dugaan) itu memiliki kondisi :

a. Kondisi yang diketahui dan diperkuat oleh salah satu dari sekian banyak bukti/dalil, sehingga hukum dapat ditetapkan dengan prasangka (dugaan) pada kondisi ini.
b. Kondisi dimana terdapat sesuatu (asumsi/dugaan) didalam hati tanpa ada petunjuk (manakah yang lebih kuat: apakah sesuatu tersebut ataukah lawannya), sehingga sesuatu itu tidak menjadi lebih baik dari lawannya. Ini adalah Keraguan. Hukum sesuatu tidaklah boleh ditetapkan dengan keraguan ini. Inilah yang terlarang.

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian menyanjung saudaranya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Saya kira anu, dan saya tidak menyucikan (menganggap suci) seseorang kepada Allah (HR Bukhari, tentang larangan menyanjung jika itu berlebihan dan dikhawatirkan akan menimbulkan Fitnah atas tersanjung, HR Abu Dawud, HR Ibnu Majah, dan HR Ahmad)

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa memiliki prasangka buruk terhadap orang yang zahirnya baik adalah tidak boleh. Namun tidak masalah mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang zahirnya buruk. Demikianlah yang dikatakan Al Mahdawi.


4. Firman Allah Ta'ala "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain"

Makna ayat tersebut adalah: Ambilah apa yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin. Maksudnya, salah seorang dari kalian tidak boleh mencari aib saudaranya hin
gga menemukannya setelah Allah menutupinya. Dalam kitab Abu Daud, terdapat hadis dari Mu'awiyah, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jika engkau mencari-cari aib manusia, maka engkau telah menghancurkan mereka, atau hampir menghancurkan mereka" (HR Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al Aslamai, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Wahai sekalian orang-orang yang lidahnya telah menyatakan beriman namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari kesalahan mereka. Sebab barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan, barangsiapa yang kesalahannya dicari-cari Allah, maka Allah akan membukakan kesalahannya itu di rumahnya" (HR Abu Daud)

Abdurrahman bin Auf berkata, "Suatu malam, aku meronda bersama Umar bin Al Khathab di Madinah. Tiba-tiba, terlihatlah oleh kami pelita di dalam rumah yang pintunya disegani oleh orang-orang. Mereka mengeluarkan suara yang keras dan ribut. Umar berkata, "Ini adalah rumah Rabi'ah bin Umayah bin Khalaf, dan sekiranya mereka sedang minum-minum. Bagaimana menurutmu?" Aku menjawab, "Menurutku sesungguhnya kita telah melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Sebab Allah Ta'ala berfirman: "Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan kini kita telah mencari-cari kesalahan orang lain". Umar pun kemudian pergi dan meninggalkan mereka.

Amr bin Dinar berkata, 'Seorang penduduk Madinah mempunyai seorang saudara yang sedang sakit. Dia menjenguk saudarinya itu, lalu saudarinya itu meninggal dunia. Maka dia pun memakamkannya. Dia turun ke dalam makam saudarinya, namun kantungnya yang berisi uang terjatuh. Maka dia meminta keluarganya untuk menggali makam saudarinya. Dia mengambil kantung itu lalu berkata, 'Sungguh, akan kubuka (makamnya) agar dapat kulihat bagaimanakah keadaannya.' Dia kemudian membongkar makam saudarinya itu, dan ternyata makam itu penuh dengan nyala api. Dia kemudian mendatangi ibunya dan berkata, 'Beritahukanlah padaku apa yang telah dilakukan saudariku?' Ibunya berkata, 'Saudarimu sudah meninggal dunia. Lalu, mengapa engkau bertanya tentang perbuatannya?; Lelaki itu terus mendesak ibunya, hingga ibunya berkata, 'Diantara perbuatannya adalah mengakhirkan shalat dari waktunya. Apabila para tetangga tidur, dia berangkat ke rumah mereka, menempelkan telinganya di rumah mereka, mencari-cari keburukan mereka, dan menyebarkan rahsia mereka' Orang itu berkata, 'Karena inilah saudariku celaka'".

5.Firman Allah Ta'ala, "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain"
Allah 'azza wa Jalla melarang menggunjing, yaitu engkau menceritakan seseorang sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Tapi jika engkau menceritakan tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, maka itu merupakan sebuah kebohongan.

Pengertian itu terdapat dalam sebuah hadis Riwayat Muslim, Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tahukan kalian apakah menggunjing itu?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Baginda bersabda, "Engkau menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudaramu". Ditanyakan kepada Rasulullah SAW: "Bagaimana pendapatmu jika apa yang kau katakan memang terdapat pada saudaraku?" Rasulullah SAW menjawab, "Jika apa yang engkau katakan terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Tapi jika apa yang engkau katakan tidak terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah berdusta kepadanya" (HR Muslim)

Al Hasan berkata, "Menggunjing itu ada 3 macam, dan semuanya terdapat dalam kitab Allah :

a) Ghibah (menggunjing), b) Ifk (cerita bohong), c) Buhtaan (berdusta).

Ghibah adalah engkau menceritakan apa yang ada pada diri saudaramu.

ifk adalah engkau menceritakannya sesuai dengan berita yang sampai padamu tentangnya.

Buhtaan adalah engkau menceritakan apa yang tidak ada padanya.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Ma'iz Al Aslami datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku berzina, kemudian Rasulullah SAW merajamnya. Rasulullah SAW kemudian mendengar dua lelaki dari sahabatnya, salah satunya berkata kepada yang lainnya, "Lihatlah orang yang dilindungi Allah itu. Dia tidak membiarkan dirinya, hingga dirinya dirajam seperti dirajamnya anjing." Rasulullah SAW tidak mengomentari kedua orang itu, lalu Rasulullah SAW berjalan beberapa saat, hingga bertemu dengan bangkai keledai yang mengangkat kakinya. Baginda bertanya, "Dimana si fulan dan si fulan?" Kedua orang itu menjawab, "Ini kami wahai Rasulullah". Rasulullah SAW bersabda, "Turunlah kalian makanlah bangkai keledai ini!". Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, siapa yang akan memakan bangkai (keledai) ini". Rasulullah SAW bersabda, "Apa yang telah kalian nodai dari kehormatan saudaramu adalah lebih menjijikan daripada memakan bangkai keledai itu. Demi Zat yang jiwaku berada di dalam kekuasaan Nya, sesungguhnya dia sekarang ini telah berada di sungai syurga, dimana dia menyelam ke dalamnya" (HR Abu Daud).

6. Firman Allah Ta'ala, "Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?"

Allah menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai. Sebab orang yang sudah mati tidak mengetahui dagingya dimakan, sebagaimana orang yang masih hidup tidak mengetahui gunjingan yang dilakukan orang yang menggunjingnya.

Ibnu Abbas berkata, "Allah membuat perumpamaan ini untuk menggunjing, karena memakan bangkai itu haram lagi jijik. Demikianlah pula menggunjingpun diharamkan dalam agama dan dianggap buruk di dalam jiwa (manusia).

Di dalam Kitab Abu Daud, dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, "Ketika aku melakukan Mi'raj, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku-kuku yang terbuat dari tembaga. Mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku berkata, "Siapakah mereka itu wahai Jibril?". Jibril Menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan menodai kehormatan mereka" (HR Abu Daud).

Diriwayatkan dari Al Mustaurid, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang memakan makanan karena (menggunjing) seorang muslim, maka Allah akan memberinya makanan yang serupa dengan makanan itu dari api neraka Jahannam. Barangsiapa yang diberikan pakaian/penghargaan karena (menjelek-jelekan) seorang muslim, maka Allah akan memberinya pakaian yang serupa dengan pakaian itu dari api neraka. Barangsiapa yang mendirikan seseorang di sebuah tempat karena ingin mendapatkan reputasi baik dan riya, (dimana dia menyifatinya dengan baik, bertakwa dan mulia, dan dia pun mempopularkannya dengan sifat itu, juga menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan pribadinya), maka Allah akan mendirikannya di tempat orang-orang yang ingin mendapatkan reputasi baik dan riya pada hari kiamat kelak" (HR Abu Daud)

Maimun Bin Siyah tidak pernah menggunjing seseorang, dan diapun tidak pernah membiarkan seseorang menggunjing seseorang lain di dekatnya. Dia melarangnya. Jika orang itu berhenti, (maka itu yang terbaik). Tapi jika tidak, maka diapun berdiri (untuk pergi).

Umar bin Al Khathab berkata, "Janganlah kalian menceritakan manusia, sebab itu merupakan penyakit. Berzikirlah kepada Allah, sebab itu merupakan ubat/penawar".

7. Bergunjing termasuk kezaliman yang harus mendapatkan maaf dari saudaranya (penghalalan dari saudaranya) karena mencakup masalah agama dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

"Barangsiapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, maka hendaklah dia meminta penghalalan pada saudaranya itu dari kezaliman tersebut" (HR Bukhari).

8. Perbuatan ini (membicarakan orang lain/berprasangka buruk kepada orang lain) merupakan dosa besar, dan orang yang membicarakan hal ini (bergunjing) harus bertaubat kepada Allah 'Azza wa Jalla.

9. Menggunjing/membicarakan orang lain yang diperbolehkan adalah membicarakan orang yang fasik, yang terang-terangan dan menampakkan kefasikannya.

Juga diperbolehkan membicarakan orang lain yang ditujukan kepada seorang hakim, dimana hendak meminta bantuannya untuk mengambil haknya dari orang yang menzalimi tersebut, seperti contoh :"Fulan telah menzalimiku, merampas (sesuatu) dariku, mengkhianatiku, memukulku, menuduhku berzina, atau melakukan kejahatan terhadapku. Adalah termasuk dalam sesuatu yang dihalalkan (bila menceritakan keburukan seseorang) saat meminta fatwa, seperti ucapan Hindun kepada Nabi SAW, "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupi aku dan anakku, sehingga aku harus mengambil (hartanya) tanpa sepengetahuannya". Nabi SAW kemudian bersabda kepadanya, "Ya Ambillah"

Demikian pula (diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang) jika menceritakan keburukannya itu mengandung suatu faedah, seperti sabda Rasulullah SAW: "Adapun Mu'awiyah, dia orang yang miskin tidak mempunyai harta. Adapun Abu Jahm, dia tidak dapat meletakkan tongkatnya dari tengkuknya (ringan tangan)". Ucapan Baginda ini adalah sesuatu yang dibolehkan, sebab maksud Baginda adalah agar Fatimah Binti Qais tidak terkecoh oleh keduanya. Semua itu dikatakan oleh Al Muhasibi.

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir

Allah Ta'ala melarang hamba-hamba Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta ummat manusia secara keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian dari prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa.

Oleh karena itu, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan. Amirul Mukminin 'Umar bin Al Khathab RA pernah berkata, "Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara Mukminmu kecuali dengan prasangka baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan."

Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulllah SAW bersabda, "Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara." (hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim, juga Abu Dawud)

Pada ayat ini juga terdapat pemberitahuan tentang larangan berghibah (penjelasannya sama dengan Ringkasan dari Tafsir Al Qurthubi).

Ghibah masih diperbolehkan bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam Jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), Ta'dil (menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat, seperti perkataan Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais ketika dilamar oleh Mu'awiyah dan Abul Jahm (seperti diterangkan dalam penjelasan sebelumya dalam Ringkasan Tafsir Al Qurthubi).

Adapun bagi orang-orang yang berghibah/menggunjing orang lain, diwajibkan bertaubat atas kesalahannya, dan melepaskan diri darinya (bergunjing) serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya lagi.

Kemudian ada sebagian ulama yang menambahkan syaratnya, bahwa bagi yang suka bergunjing/menggunjingkan orang lain, maka dia harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya, atau dia harus memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingkannya di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya.

Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian.

Tafsir Qurthuby

قوله تعالى : يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم .


فيه عشر مسائل :

الأولى : قوله تعالى : يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن قيل : إنها نزلت في رجلين من أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم - اغتابا رفيقهما . وذلك أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا سافر ضم الرجل المحتاج إلى الرجلين الموسرين فيخدمهما . فضم سلمان إلى رجلين ، فتقدم سلمان إلى المنزل فغلبته عيناه فنام ولم يهيئ لهما شيئا ، فجاءا فلم يجدا طعاما وإداما ، فقالا له : انطلق فاطلب لنا من النبي - صلى الله عليه وسلم - طعاما وإداما ، فذهب فقال له النبي - صلى الله عليه وسلم - : اذهب إلى أسامة بن زيد فقل له إن كان عندك فضل من طعام فليعطك وكان أسامة خازن النبي - صلى الله عليه وسلم - ، فذهب إليه ، فقال أسامة : ما عندي شيء ، فرجع إليهما فأخبرهما ، فقالا : قد كان عنده ولكنه بخل . ثم بعثا [ ص: 300 ] سلمان إلى طائفة من الصحابة فلم يجد عندهم شيئا ، فقالا : لو بعثنا سلمان إلى بئر سميحة لغار ماؤها . ثم انطلقا يتجسسان هل عند أسامة شيء ، فرآهما النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال : ( ما لي أرى خضرة اللحم في أفواهكما ) فقالا : يا نبي الله ، والله ما أكلنا في يومنا هذا لحما ولا غيره . فقال : ( ولكنكما ظلتما تأكلان لحم سلمان وأسامة ) فنزلت : يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ذكره الثعلبي . أي : لا تظنوا بأهل الخير سوءا إن كنتم تعلمون من ظاهر أمرهم الخير .

dan seterusnya.....
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php...

Tafsir Jalalain

«يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم» أي مؤثم وهو كثير كظن السوء بأهل الخير من المؤمنين، وهم كثير بخلافه بالفساق منهم فلا إثم فيه في نحو يظهر منهم «ولا تجسسوا» حذف منه إحدى التاءين لا تتبعوا عورات المسلمين ومعايبهم بالبحث عنها «ولا يغتب بعضكم بعضا» لا يذكره بشيء يكرهه وإن كان فيه «أيجب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا» بالتخفيف والتشديد، أي لا يحسن به «فكرهتموه» أي فاغتيابه في حياته كأكل لحمه بعد مماته وقد عرض عليكم الثاني فكرهتموه فاكرهوا الأول «واتقوا الله» أي عقابه في الاغتياب بأن تتوبوا منه «إن الله توَّاب» قابل توبة التائبين «رحيم» بهم.
http://quran.v22v.net/tafseer-4624-49.html

Rosulullah SAW bersabda

طوبي لمن شغله عيبه عن عيوب الناس
Bahagialah orang yang sibuk mencari dan memperbaiki aibnya sendiri dan menjauhi mencari-cari aib orang lain.

http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php.

PUPUK DAN PROBLEMATIKA DALAM ZAKAT

PUPUK DAN PROBLEMATIKA DALAM ZAKAT




 Deskripsi Masalah
Sebagaimana yang banyak diterangkan dalam kitab fiqih, biaya panen, pupuk dan semisalnya tidak diambilkan dari maluzzakat, akan tetapi hal yang semacam ini menimbulkan masalah yang tidak ringan bagi petani, seperti pada saat awal krisis kemarin, harga pupuk naik dan harga beras menurun, sehingga tidak sedikit petani yang merugi meskipun hasil panennya lebih dari satu nishob
Pertanyaan:
e.     Adakah qoul yang mengatakan biaya pemupukan, panen dan yang semisalnya bisa mempengaruhi prosentase pengeluaran zakat?
f.      Jika biaya panen, pupuk dan semisalnya lebih banyak dari pada hasil panen, apakah masih wajib mengeluarkan zakat?
Jawaban :
g.     Belum ditemukan qaul yang jelas yang menyatakan biaya pupuk, panen dan semisalnya bisa mempengaruhi prosentase zakat.
Referensi
1.     هامش قرة العين ص: 100
 في أهل بلد يعتادون تسميد أشجارهم بدل السقاية ويرون أنها لنمو الثمرة من السقاية لها ويخرجون على ذلك خرج السقاية بل أكثر فهل يجب على مالك الأشجار العشر أو نصفه وأيضا هل يكره أكل الثمرة من أجل التسميد أم لا وكذلك إذا كانوا يعتادون تحريث أشجارهم بدل السقاية ما حكمه في وجوب الزكاة أفتونا مأجورين (أجاب) عفا الله بقوله التسميد والتحريث لا يغير حكم الواجب فيجب نصف العشر إن سيقت بمؤنة وإلا فالواجب العشر ولا يكره أكل الثمر المذكور وإن ظهر ريح النجس به والله سبحانه وتعالى أعلم
tسئل
2.     إبانة الأحكام الجزء الثاني ص :304
لما كان ما سقي بالسواني فيه زيادة تعب وعناء نقص الشارع الحكيم بعض ما يجب فيه من الزكاة رفقا للعباد فيجعل فيه نصف العشر وما كان يسقى بماء السماء و الأنهار ليس فيه هذا العناء جعل الشارع في زكاته العشر اهـ
h.     Menurut Madzhab Syafi'i, biaya tersebut tidak mengurangi obyek zakat. Akan tetapi menurut Imam 'Atha' dan Ibn Araby, tidak wajib mengeluarkan zakat, karena yang wajib dizakati adalah hasil bersih setelah dikurangi biaya tanaman.
Ibarat
1.     ترشيح المستفدين ص : 147
(قوله ومؤنة الحصاد والدياسة على المالك) أي مالك الزرع وعبارة شرح المنهج ومؤنة حذار الثمر وتجفيفه وحصاد الحب وتصفيته من خالص مال المالك لا يحسب شيئ منها من مال الزكاة اهـ الى أن قال في التحفة وإذا زادت المشقة في التزام مذهبنا فلا عيب على المتخلص بتقليد مذهب آخر كمذهب أحمد فإنه يجيز التصرف قبل الخرص والتضمين وأن يأكل هو وعياله على العادة ولا يحسب عليه وكذا ما يهديه منه في آوانه اهـ أي ويزكى الفاضل إن بلغ نصابا. ح ل ع
2.     فقه السنة الجز الأول ص :354 – 355
قال إبن قدامة لا نعلم فيه خلافا وإن كان أحدهما اكثر كان حكم الاقل تابعا للأكثر عند أبى حنيفة وأحمد والثوري وأحد قولي الشافعى وتكالف الزرع من حصاد وحمل ودياسة وتصفية وحفظ وغير ذلك من خالص مال المالك ولا يحسب منها شيئ من مال الزكاة فذهب إبن عباس وابن عمر رضي الله عنهما أنه يحسب ما اقترضه من اجل زرعه وثمره وعن جابر ابن زيد عن ابن عباس وابن عمر رضى الله عنهما فى الرجل يستقرض فيقف على ثمرته وعلى أهله يبدأ بما استقرض فيقضيه ويزكي ما بقي قال جابر وقال ابن عباس رضى الله عنهما يقضى ما أانفق على الثمرة ثم يزكى ما بقي رواه يحي بن ادم فى الخرج
3.     البيان الجزء الثالث ص: 263
ولا تؤخذ الزكاة إلا بعد التصفية ومؤنة الدياس والتصفية على رب المال وهو قول كافة العلماء. وقال عطاء: تقسط المؤنة على جميع المال.
4.     عريضة الأحوذي الجزء الثاني ص: 102-103
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الطيالسي أخبرنا شعبة أخبرني خبيب بن عبد الرحم0ن قال سمعت عبد الرحمن بن مسعود بن نيار يقول جاء سهل بن أبي حثمة إلى مجلسنا فحدث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول: إذا خرصتم فخذوا ودعوا الثلث فإن لم تدعوا الثلث فدعوا الربع.
الأحكام: فيه مسألتان: -إلى أن قال- الثانية: إذا خرص ما يخرص فاختلف الناس هل يستوفى عليهم الكيل أو يترك لهم ما يأكلون رطبا؟ فقال مالك وأبو حنيفة وساعدهما الثوري على أنه لا يترك لهم شيئ وهذا يدل أن مالكا وسفيان لم يراعيا حديث سهل بن أبي حثمة في الرفق في الخرص وترك الثلث أو الربع أو لم يرياه. وقال محمد وأبو يوسف يراعى على ما يأكل الرجل وصاحبه وجاره حتى لو أكل جميعه رطبا لم يجب عليه شيء وإنما يجب مما أوتي بالحصاد وضمه إلى الجرين لأن الله تعالى قال:"كلوا وآتوا" (الأنعام :14) فلم يجعل الإيتاء شرطا إلا بعد أن أذن في الأكل إباحة وعجبا لهما مع تركهما للظاهر كيف أخذا به ههنا. وكذلك اختلف قول علمائنا هل تحط المؤنة من المال المزكى وحينئذ تجب الزكاة أو تكون مؤنة المال وخدمته حتى يصير حاصلا في حصته رب المال وتؤخذ الزكاة من الرأس، والصحيح أنها محسوبة وأن الباقي هو الذي يؤخذ عشره. ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم "دعوا الثلث أو الربع" وهو قدر المؤنة ولقد جربناه فوجدناه كذلك في الأغلب وبما يأكل رطبا ويحتسب المؤنة يتخلص الباقي ثلاث أرباع أو ثلثين والله أعلم –إلى أن قال- قال القاضي أبو بكر بن العربي رضي الله عنه: والمتحصل من صحيح النظر أن يترك له قدر الثلث أو الربع كما بيناه في مقابلة المؤنة من واجب فيها ومندوب إليها والله أعلم.
5.     فتح الباري ج: 3 ص: 347
وصحيح بن حبان من حديث سهيل بن أبي حثمة مرفوعا إذا خرصتم فخذوا ودعوا الثلث فإن لم تدعوا الثلث فدعوا الربع وقال بظاهرة الليث وأحمد وإسحاق وغيرهم وفهم منه أبو عبيد في كتاب الأموال أنه القدر الذي يأكلونه بحسب احتياجهم إليه فقال يترك قدر احتياجهم وقال مالك وسفيان لا يترك لهم شيء وهو المشهور عن الشافعي قال بن العربي و المتحصل من صحيح النظر أن يعمل بالحديث وهو قدر المؤنة ولقد جربناه فوجدناه كذلك في الأغلب مما يؤكل رطب
6.     تحفة الأحوذي الجزء الثالث ص: 306
قال الحافظ في فتح الباري بعد ذكر حديث سهل بن أبي حثمة قال بظاهره الليث وأحمد وإسحاق وغيرهم وفهم منه أبو عبيد في كتاب الأموال أنه القدر الذي يأكلونه بحسب احتياجهم إليه فقال يترك قدر احتياجهم وقال مالك وسفيان لا يترك لهم شيء وهو المشهور عن الشافعي قال ابن العربي والمتحصل من صحيح النظر أن يعمل بالحديث وهو قدر المؤنة ولقد جربناه فوجدناه كذلك في الأغلب مما يؤكل رطبا انتهى
7.     فقه الزكاة ص 394 -395
 (دعوا الثلث او الربع) وأن الثلث أو الربع يعادل قدر المؤنة تقريبا فإذا حسب ما يأكله رطبا وما ينفقه من المؤنة تخلص الباقي ثلاثة أرباع أو ثلثين قال ولقد جربنا فوجدناه كذلك فى الأغلب اهـ
eوعن عطاء أنه يسقط مما أصاب النفقة فإن بقي مقدار ما فيه الزكاة زكي وإلا فلا-الى أن قال- وتعرض إبن العربي فى شرح الترمذي لهذه المسألة فقال اختلف قول علماءنا هل تحط المؤنة من المال المزكي وحينئذ تجب الزكاة أي فى الصافي أو تكون مؤنة المال وخدمته حتى يصير حاصلا فى حصة رب المال وتؤخذ الزكاة من الرأس أي من إجمالي الحاصل؟ فذهب إلى أن الصحيح أن تحط وترفع من الحاصل وان الباقي هو الذي يؤخذ عشره واستدل لذلك لحديث النبي
8.     المجموع شرح المهذب الجزء الخامس ص : 343 المكتبة السلفية
فإن كان ماشية أو غيرها من أموال الزكاة وعليه دين يستغرقه أو ينقص المال عن النصاب ففيه قولان (قال فى القديم) لا تجب الزكاة فيه لأن ملكه غير مستقر لأنه ربما أخذه الحاكم لحق الغرماء (وقال فى الجديد) تجب الزكاة فيه لأن الزكاة تتعلق بالعين والدين يتعلق بالذمة فلا يمنع أحدهما الآخر كالدين وأرش الجناية
9.     مغني المحتاج الجزء الأول ص: 411
ولا يمنع الدين وجوبها سواء أكان حالا أم لا من جنس المال أم لا لله تعالى كالزكاة والكفارة والنذر أم لا في أظهر الأقوال لإطلاق الأدلة الموجبة للزكاة ولأنه مالك للنصاب نافذ التصرف فيه والثاني يمنع كما يمنع وجوب الحج والثالث يمنع في المال الباطن وهو النقد ولو عبر بالذهب والفضة ليشمل غير المضروب كان أولى والركاز والعرض لا يمنع في الظاهر وهو الماشية والزروع والثمار والمعدن والفرق أن الظاهر ينمو بنفسه والباطن إنما ينمو بالتصرف فيه والدين يمنع من ذلك ويحوج إلى صرفه في قضائه قال الإسنوي وأهمل المصنف زكاة الفطر وهي من الباطن أيضا على الأصح وأجيب بأن زكاة الفطر وإن كانت ملحقة بالباطن لكن لا مدخل لها هنا لأن الكلام في الأموال ومحل الخلاف ما لم يزد المال على الدين فإن زاد وكان الزائد نصابا وجبت زكاته قطعا وما إذا لم يكن له من غير المال الزكوي ما يقضي به الدين فإن كان لم يمنع قطعا عند الجمهور -إلى أن قال- وعلى الأول أيضا لو اجتمع زكاة ودين آدمي في تركة بأن مات قبل أدائها وضاقت التركة عنها قدمت أي الزكاة وإن كانت زكاة فطر على الدين وإن تعلق بالعين قبل الموت كالمرهون تقديما لدين الله لخبر الصحيحين فدين الله أحق بالقضاء ولأن مصرفها أيضا إلى الآدميين فقدمت لاجتماع الأمرين فيها والخلاف جار في اجتماع حق الله تعالى مطلقا مع الدين فيدخل في ذلك الحج وجزاء الصيد والكفارة والنذر كما صرح به في المجموع نعم الجزية ودين الآدمي يستويان على الأصح مع أن الجزية حق لله تعالى وفي قول يقدم الدين لأن حقوق الآدميين مبنية على المضايقة لافتقارهم واحتياجهم وكما يقدم القصاص على القتل بالردة وأجاب الأول بأن الحدود مبناها على الدرء وفي قول يستويان فيوزع المال عليهما لأن الحق المالي المضاف إلى الله تعالى يعود إلى الآدميين أيضا وهم المنتفعون به وفي قول يقدم الأسبق منهما وجوبا وخرج بدين الآدمي دين الله تعالى ككفارة قال السبكي فالوجه أن يقال إن كان النصاب موجودا أي بعضه كما قاله شيخنا قدمت الزكاة وإلا فيستويان وبالتركة ما لو اجتمعا على حي فإنه إن كان محجورا عليه قدم حق الآدمي جزما كما قاله الرافعي في باب كفارة اليمين وإلا قدمت جزما كما قاله الرافعي هنا هذا إذا لم تتعلق الزكاة بالعين وإلا فتقدم مطلقا كما قاله شيخنا
10.   تحفة المحتاج الجزء الثالث 254-245 دار إحياء التراث
 وأنه لا فرق فيه بين الزكوي وغيره توسعة في هذا الأمر وإذا جرى خلاف في مذهبنا أن المالك تترك له نخلات بلا خرص يأكلها فكيف يضايق بمثل هذا الذي اعتيد من غير نكير في الأعصار والأمصار اهـ وفيه ما فيه فالصواب ما قاله مجلي ويلزمهم إخراج زكاة ما أعطوه كما لو أتلفوه ولا يخرج على ما مر عن العراقيين وغيرهم لأنه يغتفر في الساعي ما لا يغتفر في غيره ونوزع فيما ذكر من الحرمة بإطلاقهم ندب إطعام الفقراء يوم الجداد والحصاد خروجا من خلاف من أوجبه لورود النهي عن الجداد ليلا ومن ثم كره فأفهم هذا الإطلاق أنه لا فرق بين ما تعلقت به الزكاة وغيره ويجاب بأن الزركشي لما ذكر جواز التقاط السنابل بعد الحصاد قال ويحمل على ما لا زكاة فيه أو علم أنه زكي أو زادت أجرة جمعه على ما يحصل منه فكذا يقال هنا قول المحشي (قوله فيلزمه بدله إلخ) ليس موجودا في نسخ الشرح التي بأيدينا وأما قول شيخنا الظاهر العموم وأن هذا القدر مغتفر فهو وإن كان ظاهر المعنى ومن ثم جزم به في موضع آخر لكن الأوفق بكلامهم ما قدمته أولا ومن لزوم إخراج زكاته بإطلاقهم المذكور في الحب مع أنه لا يزكى إلا مصفى ولا خرص فيه ويرد بتعين الحمل في مثل هذا على ما لا زكاة فيه وقد صرحوا بأن من تصدق بالمال الزكوي بعد حوله تلزمه زكاته ولم يفرقوا بين قليله وكثيره فتعين حمل الزركشي ليجتمع به أطراف كلامهم ولا ينافي ذلك ما ذكروه في منع خرص نخل البصرة لأنه ضعيف كما يأتي ويأتي رد قول الإمام والغزالي: المنع الكلي من التصرف خلاف الإجماع وضعف ترك شيء من الرطب للمالك وأحاديث الباكورة وأمر الشافعي بشراء الفول الرطب محمولان على ما لا زكاة فيه إذ الوقائع الفعلية تسقط بالاحتمال وكما لم ينظر الشيخان وغيرهما في منع بيع هذا في قشره إلى الاعتراض عليه بأنه خلاف الإجماع الفعلي وكلام الأكثرين وعليه الأئمة الثلاثة كذلك لا ينظر فيما نح
e(وتجب) الزكاة فيما مر (ببدو صلاح الثمر) ولو في البعض ويأتي ضابطه في البيع لأنه حينئذ ثمرة كاملة وقبله بلح أو حصرم (واشتداد الحب) ولو في البعض أيضا لأنه حينئذ قوت وقبله بقل قال أصله فلو اشترى أو ورث نخيلا مثمرة وبدا الصلاح عنده فالزكاة عليه لا على من انتقل الملك عنه لأن السبب إنما وجد في ملكه وحذفه للعلم به من حيث تعليقه الوجوب بما ذكره ولا يشترط تمام الصلاح والاشتداد ومؤنة نحو الجداد والتجفيف والحصاد والتصفية وسائر المؤن من خالص ماله وكثير يخرجون ذلك من الثمر أو الحب ثم يزكون الباقي وهو خطأ عظيم ومع وجوبها بما ذكر لا يجب الإخراج إلا بعد التصفية والجفاف فيما يجف بل لا يجزئ قبلهما نعم يأتي في المعدن تفصيل في شرح قوله فيهما يتعين مجيء كله هنا فتنبه له فالمراد بالوجوب بذلك انعقاده سببا لوجوب الإخراج إذا صار تمرا أو زبيبا أو حبا مصفى فعلم أن ما اعتيد من إعطاء الملاك الذين تلزمهم الزكاة الفقراء سنابل أو رطبا عند الحصاد أو الجداد حرام وإن نووا به الزكاة ولا يجوز لهم حسابه منها إلا إن صفي أو جف وجددوا إقباضه كما هو ظاهر ثم رأيت مجليا صرح بذلك مع زيادة فقال ما حاصله أن فرض أن الآخذ من أهل الزكاة فقد أخذ قبل محله وهو تمام التصفية وأخذه بعدها من غير إقباض المالك له أو من غير نيته لا يبيحه قال وهذه أمور لا بد من رعاية جميعها وقد تواطأ الناس على أخذ ذلك مع ما فيه من الفساد وكثير من المتعبدين يرونه أحل ما وجد وسببه نبذ العلم وراء الظهور اهـ واعترض بما رواه البيهقي أن أبا الدرداء أمر أم الدرداء أنها إذا احتاجت تلتقط السنابل فدل على أن هذه عادة مستمرة من زمنه ن فيه إلى خلاف ما صرح به كلامهم وإن اعترض بنحو ذلك إذ المذهب نقل فإذا زادت المشقة في التزامه هنا فلا عتب على المتخلص بتقليد مذهب آخر كمذهب أحمد فإنه يجيز التصرف قبل الخرص والتضمين وأن يأكل هو وعياله على العادة ولا يحسب عليه وكذا ما يهديه من هذا في أوانه (قوله: أو زادت إلخ) محل تأمل بصري أي فإن مقتضاه أن من شروط وجوب إخراج الزكاة أن لا تزيد المؤنة على الحاصل من الثمر أو الحب فليراجع (قوله: الظاهر العموم) أي عموم جواز التقاط السنابل بعد الحصاد ولا يحمل على ما ذكره الزركشي سم
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Islam Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger