Hukum Orang Islam Bekerja Untuk Membangun Gereja

       Hukum Orang Islam Bekerja Untuk Membangun Gereja 

        

            Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya seorang muslim bekerja untuk membangun tempat ibadahnya non muslim , boleh apa tidak ?

( Ranting Nu Sembaturagung )

Jawab :

Hukum seorang  muslim kerja proyek bangunan tempat ibadahnya non muslim adalah tidak boleh .
Menurut madzhab Hanafi , boleh sebab yang dilihat adalah ainul amalnya ( bentuk pekerjaanya )

Ibarat

Al Um Juz : 4 Hal 213 Maktabah Syamilah
Hasyiyah Qulyubiy Juz : III Hal : 71 Maktabah Syamilah
Mugni al Mugtaz Juz : 17 Hal : 477 Maktabah Syamilah
Al Mudawanah Juz III : Hal : 435 Lil Maliki . Maktabah Syamilah
Hasyiyah Ibnu Abidin Juz : 6 Hal : 391 Lil Hanafi , Maktabah Syamilah

وَلَيْسَ في بُنْيَانِ الْكَنِيسَةِ مَعْصِيَةٌ إلَّا أَنْ تُتَّخَذَ لِمُصَلَّى النَّصَارَى الَّذِينَ اجْتِمَاعُهُمْ فيها على الشِّرْكِ وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْمَلَ بِنَاءً أو نِجَارَةً أو غَيْرَهُ في كَنَائِسِهِمْ التي لِصَلَوَاتِهِمْ (   الأم الجزاء:  4 ص : 213)
membangun gereja bukanlah termasuk ma’siat kecuali apabila pembuaatanya untuk sarana / tempat ibadah orang nasrani sebagai sarana berkumpul untuk melakukan kesyirikan , dan saya ( As Syafi’i ) memakruhkan orang islam bekerja membangun atau menjadi tukang kayu atau lainya dalam pembangunan gereja yang digunakan untuk tempat ibadah .

Al Um Juz : 4 Hal 213 Maktabah Syamilah

قوله : ( لحرمة المكث ) ولا تستحق أجرة لو خدمت , ومثل ذلك كل محرم كذي سلس وجراحة نضاحة وتعليم توراة وإنجيل وسحر وفحش وتنجيم ورمل وحمل مسكر لغير إراقته , وتصوير حيوان ونياحة ونحو ذلك ولا يجوز بذل مال فيه لغير ضرورة , ومثله أيضا استئجار كافر مسلما لبناء نحو كنيسة , وإن أقروا عليها لحرمته وما نقل عن الزركشي من جوازه محمول على كنيسة للمارة , (حاشية قليوبي الجزاء : 3 ص :  71)

Perkataan : karena haramnya berdiam diri di masjid  , dan apabila sebagai pekerja tidak mendapatkan upah seperti halnya berdiam diri di masjid  semua perkara yang diharamkan seperti orang yang beser , luka yang bernanah ,mengajarkan kitab Taurat , Injil , ilmu sihir , ilmu  hitam , nujum , ilmu ramal , membawa perkara yang memabukan , menggambar hayawan ,  niyahah ( menangisi kematian ) dll. Dan tidak diperbolehkan mengalokasikan dana untuk menyewanya (wanita haid ) kecuali dalam keadaan dlorurot dan tidak diperbolehkan seorang kafir menyewa orang islam untuk membangun gereja meskipun dia ( muslim )meyakini haram sewaan  . pendapat yang dipindah dari Imam Zarkasyi akan bolehnya mempekerjakan muslim untuk membangun gereja hanya sebatas gereja yang disediakan untuk orang yang lewat .

Hasyiyah Qulyubiy Juz : III Hal : 71 Maktabah Syamilah

قَالَ الْحَلِيمِيُّ : وَلَا يَنْبَغِي لِفَعَلَةِ الْمُسْلِمِينَ وَصُيَّاغِهِمْ أَنْ يَعْمَلُوا لِلْمُشْرِكِينَ كَنِيسَةً أَوْ صَلِيبًا . (مغني المحتاج الجزاء : 17 ص: 477)
Al Halimi berkata : tidak baik bagi pekerja muslim dan tukang emas muslim bekerja kepada orang musrik untuk membangun gereja atau membuat salib .

Mugni al Mugtaz Juz : 17 Hal : 477 Maktabah Syamilah

قلت: أرأيت الرجل أيجوز له أن يؤاجر نفسه في عمل كنيسة في قول مالك؟ قال: لا يحل له ; لأن مالكا قال: لا يؤاجر الرجل نفسه في شيء مما حرم الله. قال مالك: ولا يكري داره ولا يبيعها ممن يتخذها كنيسة. (المدونة الجزاء : 3 ص: 435)

Saya berkata : saya bertanyan pada seseorang apakah boleh bekerja untuk membangun gereja menurut madzhab Maliiki ? dia berkata : tidak halal karena Imam Malik berkata seorang muslim tidak boleh mengerjakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah , tidak sah  disewakan atau dijual rumah seseorang yang membuatnya sebagai gereja .

Al Mudawanah Juz III : Hal : 435 Lil Maliki . Maktabah Syamilah

قوله ( وجاز تعمير كنيسة ) قال في الخانية ولو آجر نفسه ليعمل في الكنيسة ويعمرها لا بأس به لأنه لا معصية في عين العمل (حاشية ابن عابدين الجزاء : 6 ص: 391)
Perkataan : boleh meramaikan gereja , berkata dalam kitab Al Khoniyah apabila seseorang melakukan akad ijaroh untuk bekerja di gereja dan meramaikanya maka tidak di permasalahkan karena tidak termasuk ma’siat pada bentuk pekerjaan . ( Ainul Amal)

Hasyiyah Ibnu Abidin Juz : 6 Hal : 391 Lil Hanafi , Maktabah Syamilah

Hukum Sandal Tertukar Bolehkah Diambil

Hukum  Sandal Tertukar Bolehkah Diambil
















Diskripsi Masalah :

Sering terjadi di dalam majlis atau perkumpulan lainya seseorang kehilangan sandal yang dibawa terkadang ada juga yang tertukar , entah karena faktor kesengajaan atau memang tidak sengaja seseorang telah salah memakai sandal . sebagai contoh pak hadi adalah jama’ah yang paling akhir keluar dari masjid / majlis ta’lim , tau tau ketika mencari sandalnya pak hadi hanya menemukan satu pasang sandal yang teryata bukan miliknya padahal di tempat tersebut dia adalah orang terakhir , akhirnya pak hadi mengambil kesimpulan bahwa sandalnya telah tertukar  dengan sandal tersebut .

Pertanyaan:

1.      Apakah sandal yang tertukar tersebut dapat dimiliki oleh pak Hadi atau tidak ? 

Jawab :

Hukumnya tafshil 
  • Tidak boleh dipakai atau dimiliki sebelum diumumkan atau yakin pemiliknya tidak mau lagi
  • Boleh dipakai atau dimiliki  dan dijual  jika diketahui pemiliknya sengaja menukarkan sandalnya

Ibarat : 

    1. Bugyatul Mustarsyidin Hal : 285
    2. Hasyiyah Bujairomi Ala Khotib Juz: 8 hal : 360

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي (ص: 285)
[فائدة]: من اللقطة أن تبدل نعله بغيرها فيأخذها، فلا يحل له استعمالها إلا بعد تعريفها بشرطه أو تحقق إعراض المالك عنها، فإن علم أن صاحبها تعمد أخذ نعله جاز له بيعها ظفراً بشرطه، وأجمعوا على جواز أخذ اللقطة في الجملة لأحاديث فيها اهـ تحفة. ومنها: ولو أعيا بعيره مثلاً فتركه فقام به غيره حتى عاد لحاله ملكه عند أحمد والليث، ورجع بما صرفه عند مالك، ومذهبنا لا يملك ولا يرجع بشيء إلا إن استأذن الحاكم في الإنفاق أو أشهد عند فقده أنه ينفق بنية الرجوع لا بالنية فقط،

Faidahh : masuk dalam kategori luqotoh ( barang temuan ) adalahsandal yang tertukar , maka baginya tidadakk halal untuk dipakai kecuali sudah diumumkan , atau sedah jelas bahwa yang mempunyai tidak mau , apabila diketahui bahwa pemiliknya sengaja mengambil  sandal tersebut maka baginya boleh menjual sebagai ganti rugi ddengan berbagai syaratnya . ulama’ sepakat memperbolehkan mengmbil barang temuan dalam perkumpulan karena adanya hadist tentang itu , ( Tuhfah ) . apabila unta seseorang kelelahan kemudian ditinggalkan lalu dirawat oleh orang lain hingga sembuh seperti semula maka boleh dimiliki menurut Imam Ahmad dan Abu Laits , sedangkan menurut Imam Malik Orang yang merawat hanya boleh meminta biaya perewatanya saja .  sedangkan madzhab kita Syafi’iyah mengatakan unta tersebut tidak boleh dimiliki dan tidak boleh mengambil sesuatu dari unta tersebut kecuali mendapat rekomendasi dari hakim dalam masalah biaya perawatan atau persaksian dengan niat mengembalikan bukan hanya sekedar niat .


Bugyatul Mustarsyidin : 285

حاشية البجيرمي على الخطيب (8/ 360)

فَرْعٌ : مَنْ ضَلَّ نَعْلَهُ فِي مَسْجِدٍ وَوَجَدَ غَيْرَهُ لَمْ يَجُزْ لَهُ لُبْسُهُ وَإِنْ كَانَ لِمَنْ أَخَذَ نَعْلَهُ ، وَلَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ بَيْعُهُ وَأَخْذُ قَدْرِ قِيمَةِ نَعْلِهِ مِنْ ثَمَنِهِ إنْ عَلِمَ أَنَّهُ لِمَنْ أَخَذَ نَعْلَهُ وَإِلَّا فَهُوَ لُقَطَةٌ .

Cabang : seseorang yang kehilangan sandalnya di masjid kemudian menemukan sandal lainya , maka tidak boleh dipakainya meskipun milik orang yang telah mengambil sandalnya , maka baginya pada kondisi tersebut boleh menjual dan mengambil kira kira harga sandalnya apabila diketahui bahwa sandal tersebut adalah milik orang yang mengambil sandalnya , apabila tidak diketahui maka dihukumiseperti barang temuan .
Hasyiyah Bujairomi Ala Khotib Juz: 8 hal : 360


نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج - ٥ ص -٤٢٧ المرجع الأكبر

(قَوْلُهُ: أَنْ يُبَدِّلَ نَعْلَهُ بِغَيْرِهِ) عَمْدًا أَوْ غَيْرَهُ، وَالْأَوْلَى بِغَيْرِهَا لِأَنَّ النَّعْلَ مُؤَنَّثَةٌ كَمَا فِي الْمِصْبَاحِ، وَبِهِ عَبَّرَ حَجّ. (قَوْلُهُ: فَإِنْ عَلِمَ أَنَّ صَاحِبَهَا تَعَمَّدَ) أَيْ وَكَذَا لَوْ لَمْ يَتَعَمَّدْ حَيْثُ تَعَذَّرَ أَخْذُهَا مِنْهُ. (قَوْلُهُ: جَازَ لَهُ بَيْعُ ذَلِكَ) أَيْ وَلَا يَحِلُّ لَهُ اسْتِعْمَالُهَا (قَوْلُهُ: ظَفَرًا بِشَرْطِهِ) وَهُوَ تَعَذُّرُ وُصُولِهِ إلَى حَقِّهِ، ثُمَّ إنْ وَفَّى بِقَدْرِ حَقِّهِ فَذَاكَ، وَإِلا ضَاعَ عَلَيْهِ مَا بَقِيَ كَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ بَقِيَّةِ الدُّيُونِ. (قَوْلُهُ: وَأَجْمَعُوا عَلَى جَوَازِ أَخْذِهَا) أَيْ اللُّقَطَةِ. إهـ


HUKUM MENJUAL TANAH WAQAF

                                 HUKUM MENJUAL TANAH WAQAF 
                 



                              
                                  Pertanyaan :

          Si A mempunyai sebidang tanah , kemudian diwaqafkan untuk kemaslahatan masjid , apakah                tanah tersebut boleh dijual untuk kamaslahatan masjid atau harus dibangun masjid ?

          Jawab :

                Menjual tanah waqaf menurut ahli fiqih hukumnya khilaf ,
a..  Menurut pendapat Imam syafi’i dan Imam Maliki hukumnya tidak boleh secara mutlaq .
b.   Menurut Pendapat Imam Hanafi ,  Imam Ahmad dan Imam Subkiy boleh menjual harta waqaf akan tetapi harus dibelikan kembali harta yang sesuai dengan yang telah dijual dan yang lebih baik .

Ibarat :

1.       Rahmatu Al Ummah   Hal : 186
2.       Nihayatuz Zaein  Juz : 1  Hal : 272
3.       I’anatut Tholibin  Juz : 3  Hal : 179
4.       As Syarqowy Ala A t Tahrir  Juz :2  Hal : 178

واتفقوا على أنه إذا خرب الوقف لم يعد إلى ملك الواقف.ثم اختلفوا في جواز بيعه، وصرف ثمنه في مثله، وإن كان مسجدا. فقال مالك والشافعي: يبقى على حاله فلا يباع. وقال أحمد: يجوز بيعه وصرف ثمنه في مثله. وكذلك في المسجد إذا كان لا يرجى عوده. ﴿ رحمة الأمّة ص : 186 ﴾
Ulama sepakat bahwa apabila barang waqaf sudah rusak makatidak bisa kembali pada pemiliknya . kemudian mereka berbeda pendapat tentang bolehnya menjual dan membelikan hasil penjualanya pada barang yang semisal, meskipun itu masjid. Imam Malik Dan syafi’i berpendapat : dibiarkan sebagaimana mestinya dan tidak boleh dijual.Imam Ahmad berpendapat boleh menjual dan membelikan hasil penjualanya pada barang semisalnya ,begitu juga dalam masalah masjid yang tidak dimungkinkan berdirinya .
Rahmatu Al Ummah   Hal : 186

ولا يجوز استبدال الموقوف عندنا وإن خرب خلافا للحنفية وصورته عندهم أن يكون المحل قد آل إلى السقوط فيبدل بمحل آخر أحسن منه بعد حكم حاكم يرى صحته وعمارة الوقف مقدمة على الموقوف عليه ويصرف ريع ما وقف على المسجد وقفا مطلقا أو على عمارته في بناء وتجصيص محكم وسلم ومكانس ومساح لنقل التراب وظلة تمنع إفساد خشب باب ونحوه بمطر ونحوه إن لم يضر بالمارة وأجرة قيم وكذا يصرف ذلك الريع للمؤذن والإمام والحصر والدهن إذا كان الوقف وقفا مطلقا
  ﴿ نهاية الزين الجزاء الأول ص :  272﴾ المكتبة الشاملة
Tiadak boleh menukarkan barang yang diwaqafkan menurut pendapat kami ( Syafi’iyah ) meskipun barang tersebut sudah rusak , berbeda dengan Hanafiyah dengan gambaran mereka yaitu tempatnya akan roboh maka ditkarkan dengan tempat lain yang lebih baik setelah mendapat persetujuan dari hakim yang telah melihat kebenaranya . karena memakmurkan waqaf lebih didahulukan ketimbang yang mendapatkan waqaf . dan di tasharufkan hasil dari waqaf tadi kepada masjid dengan waqaf mutlaq atau atas nama meramaikan masjid seperti membangun , membuat tembok pagar , tangga , umtuk tukang sapu untuk membuat kanopi sebagai penghalang dari kerusakan kayu di pintu dll. Ketika tidak menghalangi orang yang lewat utuk upah marbot begitu juga untuk upah mu’adzin , imam , untuk membeli tikar dan minyak ketika berupa waqaf mutlaq .
Nihayatuz Zain Juz : 1  Hal : 272

( قوله ولا يباع موقوف ) أي ولا يوهب للخبر المار أول الباب وكما يمتنع بيعه وهبته يمتنع تغيير هيئته جعل البستان دارا. وقال السبكي يجوز بثلاثة شروط أن يكون يسيرا لا يغيره مسماه وعدم إزالة شيء من عينه بل ينقله من جانب إلى آخر وأن يكون فيه مصلحة للوقف ﴿ إعانة الطالبين الجزاء الثالث  ص :  179﴾ المكتبة الشاملة
Perkataan barang waqaf tidak boleh dijual : dan tidak boleh diberikan atasdasar hadits yang sudah lewat di awal bab . seperti halya dilarang menjual dan memberikan harta waqaf , juga dilarang merubah bentuknya seperti merubah kebun menjadi rumah . Imam Subkiy berpendapat boleh menjual dst dengan tiga syarat . pertama hanya sedikit dan tidak merubah nama dari waqaf kedua tidak menghilangkan sesuatu daru barang tersebut bahkan memindahnya dari arah satu kearah yang lain, ketiga adanya kemaslahatan .

I’anatut Tholibin Juz : 3 Hal : 179 

Hukum Mencopot Gigi Palsu Pada Mayit

              Hukum Mencopot Gigi Palsu Pada Mayit

       

       Pertanyaan

Seseorang memasang gigi palsu yang bersifat permanen (sulit untuk dilepas) akan tetapi gigi tersebut tidak terbuat dari emas, apabila ia meninggal dunia apakah gigi palsu tersebut harus dilepas ?

( Ranting NU Tanjungsari)

Rumusan Jawaban
Tidak boleh dilepas demi menjaga kehormatan mayit

Ibarat:
1.      Tuhfatul Muhtaz Juz : 2 Hal : 136
2.      I’anatut Tholibin Juz : 2 Hal : 115

(فإن مات ) من لزمه النزع قبله ( لم ينزع ) أي لم يجب نزعه ( على الصحيح ) لأن فيه هتكا لحرمته أو لسقوط الصلاة المأمور بالنزع لأجلها {تحفة المحتاج الجز:2 ص:136 }
Apabila meninggal dunia seseorang yang gigi palsunya wajib di copot maka tidak wajib di copot menurut pendapat yang shohih karena dapat merusak kehormatan mayit atau kerena gugurnya sholat yang menjadi penyebab wajibnya mencopot .

Tuhfatul Muhtaz Juz : 2 Hal : 136

ولا يقال إنه تضييع مال لانه تضييع لغرض، وهو إكرام الميت وتعظيمه، وتضييع المال وإتلافه لغرض جائز
{إعانة ألطالبين الجز:2 ص:115} 
Dan hal tersebut tidak termasuk mensia siakan harta karena adanya tujuan  , yaitu kehormatan mayit dan memulyakanya sedangkan mensia siakan harta dan menghabiskan harta kara adanya tujuan adalah diperbolehkan .


I’anatut Tholibin Juz : 2 Hal : 115

Hukum Haji Amanah Bagi Orang Yang Sudah Meninggal Dan Tidak Pernah Sholat

    Hukum Haji Amanah Bagi Orang Yang Sudah Meninggal Dan Tidak Pernah Sholat 


      Deskripsi: 

Si Fulan meninggal dunia, semasa hidupnya tidak pernah menjalankan sholat sama sekali.
Ahli warisnya (anaknya) mengamanatkan haji untuk si Fulan tersebut. 

Pertanyaan

A.        Apakah amanat haji tersebut dapat menggugurkan kewajiban haji si Fulan apabila si Fulan semasa hidupnya termasuk orang yang telah mampu (istitho’ah) ?
B.        Apakah amanat haji tersebut dapat diterima oleh Allah Swt.  ? mengingat si Fulan tidak pernah menjalankan sholat sama sekali.
( Ranting NU Tanjungsari)

 Jawaban

A.      Dapat menggugurkan kewajiban haji, apabila dalam meninggalkan sholat si Fulan tidak jahid (ingkar akan kewajiban sholat )
B.      Amanat tersebut tetap harus dijalankan ketika dia meninggalkan harta warisan .

Ibarat
و(مسألة) : تارك الصلاة بالكلية والمخلّ ببعضها فاسق بالإجماع كتارك الزكاة  
 {بغية المسترشدين الجز: 1 ص:190 المكتة الشاملة}
Masalah : orang yang meninggalkan solat secara keseluruhan atau meninggalkan sebagianmaka dihukumi sebagai orang yang fasiq seperti halnya orang yang meninggalkan zakat .
Bugyatul mustarsyidin Juz : 1 Hal: 190

ثانيها استطاعة بغيره فتجب الإنابة عن غير مرتد مات وعليه نسك ولو بنحو نذر من تركته كما تقضى منها ديونه فلو لم تكن له تركة سن لوارثه أن يفعله عنه ولو فعله عنه أجنبي ولو بلا إذن من الوارث جاز كما يصح قضاء ديونه بلا إذن فإن لم يكن عليه نسك بأن كان أدى حجة الإسلام لا تجوز الإنابة عنه إلا لو أوصى بذلك وإلا جازت مطلقا قال شيخنا يوسف إذا كانت الأجرة من المنيب لا من التركة جازت الإنابة بلا وصية أما المرتد فلا تجوز الإنابة عنه لأنه ليس من أهل العبادة بل لو خلف مالا قضى منه دينه وما فضل يكون فيئا وتجب الإنابة عن المعضوب الذي عليه النسك وهو بالضاد المعجمة العاجز عن مباشرة النسك بنفسه إذا كان بينه وبين مكة مرحلتان فأكثر أما لو كان دون مرحلتين أو كان بمكة فإنه يلزمه مباشرة النسك بنفسه لقلة المشقة (نهاية الزين ص: 203)
Yang kedua : kuat karena bantuan orang lain , wajib digantikan ibadah hajinya dari orang yang tidak murtad yang belum menjalankan ibadah haji meskipun karena nadzar dari harta tinggalan mayit seperti halnya membayarkan hutang hutang mayit , apabila tidak meninggalkan harta warisan maka sunah bagi keluarganya menjalankan ibadah tersebut , apabila orang lain menggatikan dengan tanpa izin dari ahli waris maka di perbolehkan seperti halnya sah membayarkan hutang mayit dengan tanpa izin ahli warisnya , apabila tidak  ada haji yang ditinggalkan karena sudah pernah menjalankan haji Islam ( Haji wajib ) maka tidak boleh tidak diperbolehkan menggatikan ibadahnya kecuali dengan wasiatnyaapabila meninggalkan wasiat untuk di hajikan maka boleh secara mutlaq Syeh Yusuf berkata : ketika upah dari orang yang menggantikan tidak dari harta warisan maka diperbolehkan dengan tanpa wasiat  . adapun orang yang murtad mak tidak boleh digantikan hajinya karena dia tidak termasuk ahli ibadah bahkan ketika dia meninggalkan harta warisan maka bayarkan hutangnya dan selebihnya menjadi harta Fai’ ( harta rampasan ) wajib menggantikan ibadah haji dari orang yang tidak mampu menjalankan ibadah dengan dirinya sendiri ketika jarak antara tempatnya dan makah lebih dari dua marhalah atau lebih dan tidak boleh digantikan ketika jaraknya kurang dari dua marhalah maka wajib baginya menjalankanya sendiri dikarenakan sudah tidak ada masyaqot ( keberatan )


Nihayatuz Zain Hal :203

Kupas Tuntas ; Kesunnahan Melafadzkan (Mengucapkan) Niat Ketika Akan Memulai Shalat

Kupas Tuntas ; Kesunnahan Melafadzkan (Mengucapkan) Niat Ketika Akan Memulai Shalat


Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan olehal-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
"Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
"dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”
Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
"dan niat dengan hati"
Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat ;

"niat dengan hati dan bukan dengan lisan"
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي"إنما الأعمال بالنيات"
"(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("إنما الأعمال بالنيات")"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
"(niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja"
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati.."
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
"dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai"
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
"dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala MinhajThalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
"(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)"
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah"
Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati"
Kitab Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما قاله حج خروجا من خلاف موجبه
" melafadzkan (niat) itu sunnah.."
Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
"...(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir..."
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
"niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
"Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was"
Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan,
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال: بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata,
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)"
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله: (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .
ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi'/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula..
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat..
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan".
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-]. Perihal Hadits (إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
[-]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[-] Ada yang mengatakan, "yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama".
Jawaban : "memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda Nabi.
[-] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq (النطق)" adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
"Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)"
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
" dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)"
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير
"beberapa shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata "an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)"
Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan "Ashabinaa", walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam menyikapi khilafiyah.
Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut - Lebanon ;
وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : النِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ لِيُظْهِرَ بِلِسَانِهِ مَا اعْتَقَدَهُ بِقَلْبِهِ فَيَكُونُ عَلَى كَمَالٍ مِنْ نِيَّتِهِ وَثِقَةٍ مِنَ اعْتِقَادِهِ ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ : لِأَنَّ الْقَوْلَ لَمَّا اخْتَصَّ بِاللِّسَانِ حكم النية به لَمْ يَلْزَمِ اعْتِقَادُهُ بِالْقَلْبِ ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ إِذَا اخْتَصَّتْ بِالْقَلْبِ لَا يَلْزَمْ ذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ . فَعَلَى هَذَا لَوْ ذَكَرَ النِّيَّةَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَعْتَقِدْهَا بِقَلْبِهِ لَمْ يُجِزْهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا . فَلَوِ اعْتَقَدَهَا بِقَلْبِهِ وَذَكَرَهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ جَمِيعًا وَذَلِكَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدَ النِّيَّةَ بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَذْكُرْهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ، وَلَمْ يُجْزِئْهُ عَلَى مَذْهَبِ الزُّبَيْرِيِّ
dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,

وينوي والنية فرض للصلاة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال لا تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه

Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat.

Wallahu Subhanahu wa Ta'alaa A'lam...

REFERENSI :

Kitabul Ilah (al-Qur’an) ; Al-Majmu’, Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi ; Raudhatut Thalibin, Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Arbai’in An-Nawawi , Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Fathul Mu’in, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy ; Fathul Qarib, Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i ; As-Siraj Al-Wahaj, Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy ; Nihayatul Muhtaj, Al Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas ar-Ramli (Imam Ramli) ; Kifayatul Akhyar, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini ; Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy ; Tuhfatul Muhtaj Bisyarhi Minhaj, Al Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy ; Al-Umm , Nashirus Sunnah Al-Imam Al-Mujtahid Asy-Syafi'i ; Al-Fiqhul Islam, DR. Zuhaili Wahbah ; Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq ; Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab, Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ; Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Imam Syafi'i, DR. Musthafa Al-Khin & al-Bugha ; Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam asy-Syafi'i, Hujjatul Islam Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy ; Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Imam Asy-Syarbainiy ; Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, al-Imam Zakaria Al-Anshariy ; I’anatut Thalibin, Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy ; Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin, Al-Allamah Jalaluddin Al-Mahalli ; Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i, Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy ; Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ; Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy ; Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal Al-Hajiniy ; Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ; Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawiy ; Minhajul Qawim, Al-Imam An-Nawawiy ; Tuhfatul habib ala syarhil khotib, Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Bujairamiy ; Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib ; Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Misthu ; Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar, Imam Ibnu 'Alan ; Al-Mu'jam, Imam Ibnu Muqri' ; Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i ; Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha, Al-Imam Al-Qaffal ; Dan dari berbagai sumber (lain-lain).


sumber :  https://web.facebook.com/notes/kajian-kitab-klasik-pesantren-sunni-salafiyah/kupas-tuntas-kesunnahan-melafadzkan-mengucapkan-niat-ketika-akan-memulai-shalat/121905161154973
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Islam Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger