Hebohnya Bahstul Masail di MUNAS NU
Status Non Muslim di Indonesia
Karena belakangan ini terlalu heboh komentator-komentator medsos mengenai keputusan "Status Kafir di Indonesia" maka saya pun tergelitik untuk menulis catatan kecil tentang hal tersebut.
Pertama kita perlu kenal model-model Bahtsul Masail yang ada tiga macam, sebagai berikut:
- Masail Diniyah Waqi’iyah, yakni permasalahan kekinian yang menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal: bagaimana hukum orang Islam meresmikan gereja?, bagaimana hukum tayangan "Karma Antv" dsb.
- Masail Dinniyah Maudhu’iyah, yakni permasalahan yang menyangkut pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi, kebangsaan, Islam Nusantara dsb.
- Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.
Nah, yang sekarang ini heboh adalah Bahtsul Masail Maudluiyah (Pemikiran) tentang Status Non Muslim di Indonesia. Hingga timbul rencana keputusan "Penghapusan kata Kafir di Indonesia (baca: dalam Bahasa Indonesia)". Alasannya adalah karena Indonesia bukanlah Negara Islam sebagaimana keputusan Muktamar NU di Banjarmasin, yakni Indonesia adalah Darussalam (Negara yang damai). Yang di dalamnya hidup rukun antar semua agama dalam hak yang sama. Sebab sama-sama ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Maka dari keputusan itulah perlu diadakan pengklasifikasian status Non Muslim Indonesia, sebab dalam Literature Fiqh istilah-istilah Non Muslim: Kafir Harbi, Kafir Dzimmi, Kafir Muahad, Kafir Musta'man itu tidak ada yang sesuai dengan status Non Muslim yang ada di Indonesia, sebagaimana Hak-hak mereka yang sama dalam hal kewarganegaraan.
Maka muncullah istilah Kafir baru yakni Kafir Musalimin. Yang kemungkinan ini mendekati dg keberagaman yang ada di Indonesia.
"Loh kok buat istilah baru gitu? Mau ngerubah hukum islam?" misal ada yang berkomentar begitu. Maka jawabannya adalah begini: tidak perlu heran, pintu ijtihad kan terus dibuka sampai kiamat dan juga konsep fiqh tidak tutup telinga dengan perubahan suatu hukum dengan alasan tempat dan zaman. Itu sudah mafhum.
Tujuannya apa pembuatan istilah itu?
Masalah tujuan kita kembali lagi pada pengertian Bahtsul Masail. Di dalam Bahtsul Masail itu ada Fatwa (Hasil Rumusan) dan Keputusan Hukum (Pengaplikasian Fatwa). Contoh: NU berfatwa rokok itu tidak haram, sebab jika haram maka akan mengharamkan semua yang berhubungan dengan rokok seperti Jalan Raya. Nah tidak haram itu adalah fatwa yang tepat sehingga keputusan hukumnya tidak timpang.
Kembali pada istilah baru Kafir Musalimin ini tentu berangkat dari Fatwa Indonesia adalah Darussalam bukan Negara Islam sebagaimana mestinya (UUD dari Quran Hadits). Seandainya Negara Islam maka istilah kafir cukup bisa diwakili dengan istilah yang ada di fiqh-fiqh klasik: muahad, mustaman, harby dan dzimmi.
Karena Indonesia berbeda karakternya, maka sangat perlu membuat istilah kafir baru yang sesuai dg hak-hak rakyat non muslim di Indonesia agar nanti ketika ada permasalahan terkait non muslim kita tidak kaku lagi dalam membuat keputusan.
Sebab kami pernah mengalami sendiri kekakuan hukum dalam sebuah Bahtsul Masail yang membahas tentang Penggratisan (boikot) Kartu Seluler yang notabane pemilik operator seluler tersebut adalah Non Muslim. Sebab tidak ada kategori yang pas bagi non muslim Indonesia. Andai waktu itu dikategorikan harbi maka halallah pengratisan kartu seluler dari hasil hack ke operator yang non muslim itu, maka akan ada kemungkinan terjadi perang se tanah air. Juga dalam beberapa kasus, seringkali harus mauquf sebuah permasalahan hanya kerena status Non Muslim Indonesia yang belum jelas.
Maka dari ini mulailah kita memahami dengan bijak dan berkomentar dengan bijaksana.
Karena kenyataannya keputusan tersebut adalah tidak ada penghapusan kata "kafir" dalam i'tiqod namun hanya dihapus dalam kata-kata ketika memanggil suatu kelompok "Hei Kafir" karena ini menyakiti hati mereka, seperti ketika Muslim dipanggil "Hei Kafir" oleh Kristen misalnya. Dan juga ini merupakan langkah hebat PBNU dalam merumuskan istilah baru yang Insya Allah nanti akan berimbas pada kedamaian generasi-generasi kita untuk saling menghargai sesama warga Indonesia yakni akan terwujud Ukhuwah Wathoniyah yang tidak kaku. Dan HTI akan putus harapannya untuk mensyuriahkan Indonesia.
Seandainya terus dibiarkan (tidak ada ijtihad) tentang status non muslim Indonesia, maka dimungkinkan akan ada perang saudara se tanah air karena saling sikut terkait kekakuan memaknai agama.
Maka betul kata pendahulu kita:
Al Aman Qoblal Iman
"Aman sebelum Iman".
Kita akan beribadah dengan tenang jika kita berada di lingkungan yang aman, bertoleransi.
Terakhir dari kami, semoga bermanfaat. Jika ingin menanyakan dalil, maka tunggulah fatwa (keputusan) resmi PBNU. Karena yang kalian tanggapi dengan grasa-grusu adalah rancangan keputusan yang belum diumumkan (diputuskan). Dan tentunya perlu dipahami lagi Bahtsul Masail Maudluiyah selalu berangkat dari pertimbangan sosial dan kebangsaan. Tentu berbeda dengan Waqi'iyah apalagi Qununiyah.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada kyai-kyai yang gumun. Semoga kita semua dalam naungan rahmat.
Akhiron. Selamat berfikir bijak dan berkomentar dengan bijaksana.
Sumenep, 01 Maret 2019
Abdul Wafi Dhumyathi
(Ketua MDS RA Gapura)
0 comments:
Post a Comment