POLITIK DAN KE - NU - AN
Belakangan ini banyak sekali pendapat orang awam, khususnya awam tentang ke-NU-an juga perpolitikan yang membuat statement-statement bahwa: NU sudah tidak duduk di tempatnya lagi, NU sudah keluar dari khittohnya semenjak dipimpin oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj.
Statement-statement seperti ini barangkat dari dua kemungkinan:- Mereka tidak tahu tentang politik dan Harokah NU.
- Mereka memang ingin menghancurkan NU dengan propaganda tersebut.
Husnudzon kami, anggaplah mereka tidak tahu tentang NU dan politik, sebagaimana poin pertama.
Kebetulan hari ini Sabtu 23 Februari 2019 digelar Silaturrahmi antar Generasi Muda Bani Saudagar. Karena sekarang adalah Tahun politik maka tema yang diangkat adalah "Ngaji Perpolitikan", agar Bani Saudagar tidak saling sikut dalam hal perpolitikan yang ujungnya timbul permusuhan sesama saudara. Itu tidak etis. Kegiatan ini dipimpin oleh KH. Roji Fawaid Baidlowi, Drs. KH. Kamalil Ersyad, K. Ach. Chadliri Bisyri juga K. Ach. Quraisyi Makki.
Berpolitik itu adalah jihad, ketika jalan dan tujuannya benar. Namun ketika keduanya keliru maka berpolitik sama saja dengan bermaksiat yang terus-menerus.
Maka dari itu berpolitik yang benar adalah jika berangkat dari politik kebangsaan yang tujuannya adalah memperjuangkan hak-hak rakyat, menjaga Budaya Nusantara juga Agama. Berpolitik yang keliru adalah berangkat dari politik praktis yang tujuannya adalah kekuasan untuk kejayaan perorangan atau kelompok dari segelintir orang.
Maka benar apa yang didawuhkan Drs. KH. Kamalil Ersyad "Segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kebenaran." Jika kalimat ini dipahami secara tekstual maka seakan: Agama dikalahkan oleh kekuasan. Ternyata tidak sesederhana itu.
Mereka yang berpolitik tujuannya hanya untuk memperkaya diri atau mengejar kejayaan tentu dengan kekuasaannya dalam parlemen misalnya akan menimbulkan kekacauan. Baik yang sifatnya mengacaukan Bangsa, Budaya bahkan Agama. Karena ketika Penguasa misalnya melarang rakyatnya untuk beribadah di hari tertentu, atau merubah suatu undang-undang yang merugikan budaya dan agama, maka rakyat tidak bisa apa-apa meskipun sebenarnya keputusan penguasa (baca; pemimpin) adalah keliru. Atau bahkan jika mereka ingin memperkaya diri, maka rakyat tidak bisa apa-apa karena bisa saja data-data Negara dimanipulasi oleh mereka.
Maka dari itulah harus bisa memahami dengan benar kalimat; Segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kebenaran.
Sampai di sini menjadi penting Warga NU khususnya Santri mengambil bagian dalam Politik. Namun dengan Harokah Politik yang sesuai dengan ke-NU-an yakni Politik Kebangsaan yang berangkat dari hajat ingin mensejahterakan rakyat, menjaga Budaya dan Agama dari kekuasaan tersebut.
Kesimpulan ini tentu akan ditafsiri keliru lagi oleh mereka yang belum paham tentang NU, akan timbul statemen: Loh Jadi NU kok berpolitik? Membangkang khittoh itu.
Maka perlu kami luruskan, Khittoh NU adalah Organisasi Nahdlatul Ulama tidak boleh ikut politik praktis atau berafiliasi dengan salah satu parpol. Namun warga NU tetap punya hak untuk berpolitik yaitu Politik Kebangsaan. Jika selama ini seakan NU berada di PKB atau PPP dsb, itu bukan Organisasi NU tapi Warga NU. Ingat itu Warga NU. Apa itu salah? Tentu tidak.
Sebab jika sebuah Organisasi tidak mempunyai orang di dalam Pemerintahan maka setiap fatwa atau gerakan dari Organisasi tersebut tidak akan bisa dijalankan atau tidak akan bermanfaat untuk umat.
Bukti nyata pentingnya berpolitik yakni mempunyai kekuasaan di pemerintah adalah sebagaimana yang dituturkan oleh K. Ach. Chadliri Bisyri "Jika kita semua Bani Saudagar hanya sibuk mendidik Santri di dalam tembok Pesantren. Maka ketika Santri kita pulang ke rumahnya dan terjun di Masyarakat, mereka akan kebingungan. Sebab antara didikan Pesantren dengan kenyataan yang ada itu berbanding terbalik. Maka dari itu penting dari kita-kita (Bani Saudagar) ini untuk ada satu perwakilan yang terjun di Pemerintahan agar apa yang diajarkan di Pesantren yakni ajaran Mbah-mbah kita tetap bisa diamalkan di lingkungan Masyarakat."
Sampai di sini menjadi sangat penting berpolitik namun dari jalur politik kebangsaan. Contoh: seandainya ada satu hukum negara yang melarang mayat dikuburkan karena lahan sudah padat. Maka ini akan mengganggu apa yang kita pelajari selama ini bahwa mayat harus dikuburkan.
"Kan bisa demo pada penguasa dan gulingkan penguasanya?" Misalnya ada sanggahan begitu, maka jawabnya seperti ini: Mana yang lebih efisien antara kepemerintahan yang kita pegang dengan demo berjilid-jilid lalu gulingkan penguasa? Tentu jawabannya adalah lebih efisien kita memegang pemerintahan, sebab jika kita hanya menunggu kesalahan penguasa dan ingin merubahnya maka memerlukan waktu panjang untuk merubah undang-undang yang dibuatnya. Dengan memegang kekuasaan maka yang tidak sesuai dengan budaya atau agama, bisa kita rubah dengan hak kita dalam kepemerintahan tanpa perlu menunggu waktu yang lama atau bahkan demo berjilid-jilid.
Sekiranya itulah tulisan sederhana kami. Semoga menjadi pencerah bagi yang awam atau yang suudzon pada gerakan Nahdlatul Ulama.
Terakhir kami kutip Nasehat KH. Roji Fawaid Baidlowi "Berpolitiklah dengan cara yang benar. Bukan membenarkan segala cara. Tunjukkan bahwa kita Bani Saudagar dan Warga Nahdlatul Ulama mempunya harokah politik yang berkelas bukan ecek-ecek."
Salam Magrib. Semoga bermanfaat.
Sumenep, 23 Februari 2019.
Abdul Wafi Dhumyathi
(Ketua PAC MDS Rijalul Ansor GP Ansor Gapura)
No comments:
Post a Comment